Jumat, 05 November 2010

A. Pengertian Gondang
Pada tradisi musik Toba, kata gondang (Secara harfiah) memiliki banyak pengertian. Antara lain mengandung arti sebagai : (1) seperangkat alat musik, (2) ensambel musik, (3) komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), (pasaribu 1987). Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung (Irwansyah,1990).
Pengertian gondang sebagai perangkat alat musik, yakni gondang Batak.
Gondang Batak sering diidentikkan dengan gondang sabangunan atau ogling sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan taganing (salah satu alat musik yang terdapat di dalam gondang sabangunan). Hal ini berarti memberi kesan kepada kita seolah-olah yang termasuk ke dalam Gondang Batak itu hanyalah gondang sabangunan, sedangkan perangkat alat musik Batak yang lain, yaitu :
gondang hasapi tidak termasuk gondang Batak. Padahal sebenarnya gondang hasapi juga adalah gondang Batak, akan tetapi istilah gondang hasapi lebih dikenal dengan istilah uning-uningan daripada gondang Batak.
Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, yakni gondang sabangunan (gondang bolon) dan gondang hasapi (uning-uningan). Gondang sabangunan dan gondang hasapi adalah dua jenis ensambel musik yang terdapat pada tradisi musik Batak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan keduanya selalu digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara-upacara seremonial lainnya. Namun demikian kalau diteliti lebih lanjut, kita akan menemukan perbedaan yang cukup mendasar dari kedua ensambel ini.
Sebutan gondang dalam pengertian komposisi menunjukkan arti sebagai sebuah komposisi dari lagu (judul lagu secara individu) atau menunjukkan kumpulan dari beberapa lagu/repertoar, yang masing-masing ini bisa dimainkan pada upacara yang berbeda tergantung permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara untuk menari, termasuk di dalam upacara kematian saur matua. Misalnya : gondang si Bunga Jambu, gondang si Boru Mauliate dan sebagainya. Kata si bunga jambu, si boru mauliate dan malim menunjukkan sebuah komposisis lagu, sekaligus juga merupakan judul dari lagu (komposisi) itu sendiri.
Berbeda dengan gondang samba, samba Didang-Didang dan gondang elekelek (lae-lae). Meskipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi, namun kata sombai;didang-didangi dan elek-elek memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gondang tersebut, yang artinya ada beberapa komposisi
yang bisa dikategorikan di dalam gondang-gondang yang disebut di atas, yang merupakan “satu keluarga gondang”. Komposisi dalam “satu keluarga gondang,” memberi pengertian ada beberapa komposisi yang memiliki sifat dan fungsi yang sama, yang dalam pelaksanaannya tergantung kepada jenis upacara dan permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara. Misalnya: gondang Debata (termasuk
di dalamnya komposisi gondang Debata Guru, Debata sari, Bana Bulan, dan Mulajadi); gondang Sahalai dan gondang Habonaran.
Gondang dalam pengertian repertoar contohnya si pitu Gondang. si pitu Gondang atau kadang-kadang disebut juga gondang parngosi (baca pargocci) atau panjujuran Gondang adalah sebuah repertoar adalah reportoar/kumpulan lagu yang dimainkan pada bagian awal dari semua jenis upacara yang melibatkan aktivitas musik sebagai salah satu sarana dari upacara masyarakat Batak Toba. Semua jenis lagu yang terdapat pada si pitu Gondang merupakan “inti” dari keseluruhan gondang yang ada. Namun, untuk dapat mengetahui lebih lanjut jenis bagian apa saja yang terdapat pada si pitu Gondang tampaknya cukup rumit juga umumnya hanya diketahui oleh pargonsi saja. Lagu-lagu yang terdapat pada si pitu Gondang dapat
dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan secara terpisah (berhenti pada saat pergantian gondang). Repertoar ini tidak boleh ditarikan. Jumlah gondang (komposisi lagu yang dimainkan harus di dalam jumlah bilangan ganjil, misalnya : satu, tiga, lima, tujuh).
Kata gondang dapat dipakai dalam pengertian suatu upacara misalnya gondang Mandudu (”upacara memanggil roh”) dan upacara Saem (”upacara ritual”). Gondang dapat juga menunjukkan satu bagian dari upacara di mana kelompok kekerabatan atau satu kelompok dari tingkatan usia dan status sosial tertentu yang sedang menari, pada saat upacara tertentu misalnya : gondang Suhut, gondang Boru, gondang datu, gondang Naposo dan sebagainya. Jika dikatakan gondang Suhut, artinya pada saat itu Suhut yang mengambil bagian untuk meminta gondang dan menyampaikan setiap keinginannya untuk dapat menari bersama kelompok kekerabatan lain yang didinginkannya. Demikian juga Boru, artinya yang mendapat kesempatan untuk menari; gondang datu, artinya yang meminta gondang dan menari; dan gondang naposo, artinya muda-mudi yang mendapat kesempatan untuk menari.
Selain kelima pengertian kata gondang tersebut, ada juga pengertian yang lain yaitu yang dipakai untuk pembagian waktu dalam upacara, misalnya gondang Sadari Saboringin yaitu upacara yang didalamnya menyertakan aktivitas margondang dan dilaksanakan selama satu hari satu malam. Dengan demikian, pengertian gondang secara keseluruhan dalam satu upacara dapat meliputi beberapa pengertian seperti yang tertera di atas. pengertian gondang sebagai suatu ensambel musik tradisional khususnya, maksudnya untuk mengiring jalannya upacara kematian saur matua.
B. Istilah Gondang Sabangunan
Banyak istilah yang diberikan para ahli kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak itu sendiri terhadap gondang Sabangunan, antara lain: agung, agung sabangunan, gordang parhohas na ualu (perkakas nan delapan) dan sebagainya. Tetapi semua ini merupakan istilah saja, karena masing-masing pada umumnya mempunyai pengertian yang sama.
Diantara istilah-istilah tersebut di atas, istilah yang paling menarik perhatian adalah parhohas na ualu yang mempunyai pengertian perkakas nan delapan. Istilah ini umumnya dipakai oleh tokoh-tokoh tua saja, dan biasanya disambung lagi dengan kalimat “simaningguak di langit natondol di tano” (artinya berpijak di atas
tanah sampai juga ke langit). Menurut keyakinan suku bangsa Batak Toba dahulu, apabila gondang sabangunan tersebut dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari mengikuti gondang itu akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah (na tondol di tano). Biasanya semua pendengar mengakui adanya sesuatu kekuatan di dalam “gondang” itu yang dapat membuat orang bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.
Gondang sabangunan disebut “parhohas na ualu, karena terdiri dari delapan jenis instrumen tradisional Batak Toba, yaitu taganing, sarune, gordang, ogling ihutan, ogling oloan, ogling panggora, ogung doal dan hesek tanpa odap. Kedelapan intrumen itu merupakan lambang dari kedelapan mata angin, yang disebut “desa na ualu” dan merupakan dasar yang dipakai untuk sebutan Raja Na Ualu (Raja Nan Delapan) bagi komunitas musik gondang sabangunan. Pada masa awal perkembangan musik gondang Batak, instrumen-instrumen ini masing-masing dimainkan oleh satu orang saja. Tetapi sejalan dengan perubahan
jaman, ogling oloan dan ogling ihutan telah dapat dimainkan hanya oleh satu orang saja. Sedangkan odap sudah tidak dipakai lagi. Kadang-kadang peran hesek juga dirangkap oleh pemain taganing, sehingga jumlah pemain ensambel itu bervariasi. Keseluruhan pemain yang memainkan instrumen-instrumen dalam gondang sabangunan ini disebut pargonsi dan kegiatan yang menggunakan perangkatperangkat
musik tradisional ini disebut margondang (memainkan gondang).
C. Jenis Dan Fungsi Instrumen Gondang Sabangunan
Gondang sabangunan sebagai kumpulan alat-alat musik tradiosional Batak Toba, terdiri dari : taganing, gordang, sarune, ogling oloan, ogling ihutan, ogling panggora, ogling doal dan hesek. Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan masingmasing instrumen yakni fungsinya.
1. Taganing
Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai “pengaba” atau “dirigen” (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.
2. Gordang
Gordang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.
3. Sarune
Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.
4. Ogung Oloan (pemiapin atau Yang Harus Dituruti)
Agung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat
di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.
Fungsi dari agung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan.
Oleh karena musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti “pemimpin” atau “Yang harus di turuti” , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu “Yang menjawab” atau “Yang menuruti”. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan “tanya jawab”
5. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).
6. Ogung panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).
7. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)
8. Hesek
Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan.
D. Susunan Gondang Sabangunan
Menurut falasafah hidup orang Batak Toba, “bilangan” mempunyai makna dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas adat. “Bilangan genap” dianggap bilangan sial, karena membawa kematian atau berakhir pada kematian. Ini terlihat dari anggota tubuh dan binatang yang selalu genap. menurut Sutan Muda Pakpahan, hal itu semuanya berakhir pada kematian, dukacita dan penderitaan (Nainggolan, 1979).
Maka di dalam segala aspek kehidupan diusahakan selalu “bilangan ganjil” yang disebut bilangan na pisik yang dianggap membawa berkat dan kehidupan.
Dengan kata lain “bilangan genap” adalah lambang segala ciptaan didunia ini yang dapat dilihat dan hakekatnya akan berlalu, sedang “bilangan ganjil” adalah lambang kehidupan dan Pencipta yang tiada terlihat yang hakekatnya kekal. Itulah sebabnya susunan acara gondang sabangunan selalu dalam bilangan
ganjil. Nama tiap acara, disebut “gondang” yang dapat diartikan jenis lagu untuk nomor sesuatu acara. Susunan nomor acara juga harus menunjukkan pada bilangan ganjil seperti Satu, tiga, atau lima dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara. Sedangkan jumlah acara juga boleh menggunakan acara bilangan genap, misalnya :
dua nomor acara, empat atau enam.
Selanjutnya susunan acara itu hendaknya memenuhi tiga bagian, yang merupakan bentuk upacara secara umum, yaitu pendahuluan yang disebut gondang mula-mula, pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan. Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Walaupun dapat dilakukan satu, tiga, lima, dan sebanyakbanyaknya tujuh nomor acara atau jenis gondang yang diminta. “Gondang mulamula i ma tardok patujulona na marpardomuan tu par Tuhanon, tu sabala ni angka Raja dohot situan na torop”. Artinya Gondang mula-mula merupakan pendahuluan atau pembukaan yang berhubungan dengan Ketuhanan, kuasa roh raja-raja dan khalayak ramai.
Bentuk upacara yang termasuk gondang mula-mula antara lain:
1. Gondang alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada yang tiada terlihat yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta, biasanya dilakukan tanpa tarian.
2. Gondang Samba-Samba, sebagai persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Semua penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tanganbersikap menyembah.
Yang termasuk gondang pasu-pasuan :
1. Gondang Sampur Marmere, menggambarkan permohonan agar dianugrahi dengan keturunan banyak.
2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang dapat diasuh.
3. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan kemakmuran.
4. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan kesejahteraan.
5. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu memperoleh kemenangan.
6. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.
7. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda.
8. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada Yang Maha pencipta sumber segala anugerah.
Angerah pasu-pasuan i ma tardok gondang sinta-sinta pangidoan hombar tusintuhu ni na ginondangkan dohot barita ngolu. Artinya gondang pasu-pasuanmerupakan penggambaran cita-cita dan pernohonan sesuai dengan acara pokok dan kisah hidup.
Sedangkan yang termasuk gondang penutup (gondang hasatan):
Gondang Sitio-tio, menggambarkan kecerahan hidup masa depan sebagai jawabanterhadap upacara adat yang telah dilaksanakan.
Gondang Hasatan, menggambarkan penghargaan yang pasti tentang segala yang dipinta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama.
Gondang hasatan i ma pas ni roha na ingkon sabat saut sude na pinarsinta.
Artinya : Gondang hasatan ialah : suatu keyakinan yang pasti bahwa semua cita-cita akan tercapai. Lagu-lagu untuk ini biasanya pendek-pendek saja. Dari ketiga bagian gondang tersebut di atas, maka para peminta gondang menentukan beberapa nomor acara gondang dan nama gondang yang akan ditarikan. Masing- masing gondang ditarikan satu nilai satu kali saja. Contohnya:
Sebagai pendahuluan : Gondang Alu-alu (tidak ditarikan).
I. Gondang Mula-mula (1x). Biasanya gondang ini disatukan dengan Gondang
Samba-samba. Di Gondang Mula-mula = menari dengan tidak membuka tangan dan hanya
sebentar.
Di Gondang Samba-mamba = menari sambil membuka tangan
II. Gondang Pasu-pasuan (3x) atau (5x).
III. Gondang Sahatan (1x) atau (2x).
Yang umum dilaksanakan terdiri dari tujuh nomor acara (Si pitu Gondang)
dengan susunan :
1. Gondang Mula-mula : 1x = Gondang Mula-mula.
2. Gondang Samba-samba : 1x = Idem
3. Gondang Sampur Marmere : 1x = Gondang Pasu-pasuan
4. Gondang Marorot : 1x = Idem
5. Gondang Saudara : 1x = Idem
6. Gondang sitio-tio : 1x = Idem
7. Gondang Hasatan : 1x = Idem
————————————————————————————–
Jumlah : 7x (2 G. Mula-mula + 3 G. Pasu-pasuan+ 2 G Hasahatan)
Jika diadakan dalam lima nomor acara (Silima Gondang), susunannya adalah sebagai berikut :
Gondang Mula-mula
dengan Samba-samba : 1x Gondang Mula-mula.
Gondang Sibane-bane : 1x Gondang Pasu-pasuan
Gondang Simonang-monang : 1x Idem
Gondang Didang-didang : 1x Idem
Gondang Hasatan sitio-tio : 1x Gondang Hasahatan
————————————————————————————–
Jumlah : 5x (1. G Mula-mula + 3 G Pasu-pasuan + 1 G Hasatan).
Sedangkan dalam tlga nomor acara (Sitolu Gondang), susunannya ialah :
Gondang Mula-mula dengan Samba-samba : 1x = Gondang Mula-mula
Gondang Sibane-bane disatukan dengan Gondang Simonang-monang : 1x =
Gondang Pasu-pasuan
Gondang Hasahatan sitio-tio : 1x = Gondang Hasahatan
———————————————————————————————–
Jumlah : 3x (1 G Mula-mula + 1 G Pasu-pasuan + 1 G = Hasahatan).
Jika hanya nomor acara (Sisada Gondang) , maka di dalamnya sekaligus
dimainkan Gondang Mula-mula, Gondang Pasu-pasuan, Gondang Hasahatan.
E. syarat-Syarat pemain Gondang Sabangunan
Para pemain instrumen-instrumen yang tergabung dalam komunitas gondang,disebut pargonsi. Biasanya, sebagian besar warga masyarakat Batak Toba tertarik mendengar alunan suara yang dikeluarkan oleh gondang sabangunan tersebut, tetapi tidak semuanya mampu memainkan alat-alat tersebut apalagi mencapai tahap pargonsi. Hal ini disebabkan karena adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi seorang pargonsi. Syarat-syarat tersebut seperti yang dikemukakan seorang ahlinya, antara lain:
1. Harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta).
Sahala ini merupakan berkat kepintaran khusus dalam memainkan alat musik yang diberikan kepada seseorang sejak dalam kandungan. Dengan kata lain orang tersebut sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pargonsi sebagai permintaan Mula Jadi Na Bolon.
2. Melalui proses belajar
Seseorang dapat menjadi pargonsi, dengan adanya berkat khusus yang diberikan Mulajadi Na Bolon sekaligus dipadukan dengan proses belajar. Sehingga itu seseorang memiliki ketrampilan khusus untuk dapat menjadi pargonsi. Walaupun melalui proses belajar, tetapi jika tidak diberikan sahala kepada orang tersebut, maka ia tidak berarti apa-apa atau tidak menjadi pargonsi yang pandai.
3. Mempunyai pengetahuan mengenai ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan dalam adat)
Maksudnya mengetahui struktur masyarakat Batak Toba yaitu Dalihan Na Tolu dan penerapannya dalam masyarakat.
4. Umumnya yang diberkati Mulajadi Na Bolon untuk menjadi seorang pargonsi adalah laki-laki,
Dengan alasan : Laki-laki merupakan basil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon. Laki-laki lebih banyak memiliki kebebasan daripada perempuan, karena para pargonsi sering diundang memainkan ke berbagai daerah untuk memainkan gondang sabangunan dalam suatu upacara adat.
5. Seseorang yang menjadi pargonsi harus sudah dewasa tetapi bukan berarti harus sudah menikah.
F. Pemain Musik Gondang Sabangunan
Seperti yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa keseluruhan pemain yang menggunakan instrumen- instrumen dalam gondang sabangunan disebut pargonsi. Dahulu, istilah pargonsi ini hanya diberikan kepada pemain taganing saja, sedangkan kepada pemain instrumen lainnya hanya diberikan nama
sesuai dengan nama instrumen yang dimainkannya, yaitu pemain ogling (parogung), pemain hesek dan pemain sarune (parsarune).
Dalam konteks sosial, pargonsi ini mendapat perlakuan yang khusus. Hal inididukung oleh adanya prinsip stratifikasi yang berhubungan dengan kedudukan pargonsi berdasarkan pangkat dan jabatan. Sikap khusus yang diberikan masyarakat kepada pargonsi itu disebabkan karena seorang pargonsi selain memiliki ketrampilan teknis, mendapat sabala dari Mulajadi Na Bolon, juga mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat/sendi-sendi peradaban). Sehingga untuk itu, pargonsi mendapat
sebutan Batara Guru Hundul ( artinya : Dewa Batara Guru yang duduk) untuk pemain taganing dan Batara Guru Manguntar untuk pemain sarune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan Dewa dan mendapat perlakuan istimewa, baik dari pihak yang mengundang pargonsi maupun dari pihak yang terlibat dalam upacara tersebut. Dengan perantaraan merekalah, melalui suara gondang (keseluruhan instrumen), dapat disampaikan segala permohonan dan puji-pujian kepada Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Esa) dan dewa-dewa bawahannya yang mempunyai hak otonomi
Posisi pargonsi tampak pada saat hendak diadakannya horja (upacara pesta) yang menyertakan gondang sabangunan untuk mengiringi jalannya upacara. Pihak yang berkepentingan dalam upacara akan mengundang pargonsi dan menemui mereka dengan permohonan penuh hormat, yang disertai napuran tiar (sirih) diletakkan di atas piring.
Pada saat upacara berlangsung, pargonsi akan dilayani dengan hormat, seperti ketika suatu kelompok orang yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu ingin menari, maka mereka akan meminta gondang kepada pargonsi dengan menyerukan sebutan yang menyanjung dan terhormat, yaitu : “Ale Amang panggual pargonsi, Batara Guru Humundul, Batar Guru Manguntar, Na sinungkun botari na ni alapan arian, Parindahan na suksuk, parlompaan na tabo, Paraluaon na tingkos, paratarias na malo”.
Artinya
“Yang terhormat para pemain musik, Batara Guru Humundul, Batara Guru Manguntar. Yang ditanya sore hari dan dijemput sore hari penikmat nasi yang empuk, penikmat lauk yang lezat. Penyampai pesan yang jujur, pemikir yang cerdas. Untaian kalimat di atas menunjukkan makna dari suatu sikap yang menganggap bahwa pargonsi itu setaraf dengan Dewa. Mereka harus selalu disuguhi dengan makanan yang empuk dan lezat, harus dijemput dan diantar kembali bila pergi ke suatu tempat dan mereka itu dianggap mempunyai fikiran yang jujur dan cerdas sehingga dapat menjadi perantara untuk menghubungkan dengan Mulajadi
Nabolon.
Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, penghargaan kepada pargonsi sudah berubah. Hal ini disebabkan kehadiran musik (suatu sebutan dari masyarakat Batak Toba untuk kelompok brass band) yang menggantikan kedudukan gondang sabangunan sebagai pengiring upacara. Apabila pihak yang terlibat dalam upacara meminta sebuah repertoar, mereka akan menyebut pargonsi kepada dirigen atau pimpinan kelompok musik tersebut. Walaupun kedudukan kelompok musik sama dengan gondang sabangunan dengan menyebut “pargonsi” kepada pemain musik, namun musisi tersebut tidak dapat dianggap sebagai Batara Guru Humundul ataupun Batara Guru Manguntar.
Sikap hormat yang diberikan masyarakat kepada pargonsi bukanlah suatu sikap yang permanen (tetap), tetapi hanya dalam konteks upacara. Di luar konteks upacara, sebutan dan sikap hormat tersebut akan hilang dan pargonsi akan mempunyai kedudukan seperti anggota masyarakat lainnya, ada yang hidup sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagainya.
Sejalan dengan uraian di atas, ada beberapa penulis Batak Toba yang menerangkan sebutan untuk masing-masing instrumen dalam gondang sabangunan. Seperti pasariboe (1938) menuliskan sebagai berikut : oloan bernama simaremare, pangalusi bernama situri-turi, panonggahi bernama situhur tolong, doal bernama sisunggul madam, taganing bernama silima hapusan, gordang bernama sialton sijarungjung dan odap bernama siambaroba. Penulis Batak Toba lainnya, pasaribu (1967) menuliskan taganing bernama pisoridandan, gordang bernama sialtong na begu, odap bernama siambaroba, oloan bernama si aek mual, pangalusi bernama sitapi sindar mataniari, panggora bernama situhur, doal bernama diri mengambat
dan hesek bernama sigaruan nalomlom.
Nama-nama di atas nama yang diberikan oleh pemilik instrumen musik atau pimpinan komunitas musik yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dan bukan menunjukkan gambaran mengenai superioritas instrumen tersebut. Nama-nama tersebut biasa saja berbeda pada tiap-tiap daerah. Khusus
untuk instrumen sarune tidak ditemukan adanya sebutan terhadap instrumen itu.
TAHAP-TAHAP UPACARA KEMATIAN SAUR MATUA
Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan .
Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik darianak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna
sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang melaksanakannya.
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:
1. Acara Sebelum Upacara di Mulai
Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut adalah di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah ditentukan batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini (mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan
sebab-sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan penyakit.
Pada masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua yang menderita penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara manulangi ini, maka pada keturunannya
beserta sanak famili lebih dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai persyaratan, seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu, jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta (orang yang dituakan di kampung tersebut).
Kemudian acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan kepada orangtua tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si anak tersebut menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka sebenarnya khawatir melihat penyakitnya. Maka
sebelum tiba waktunya, ia berharap agar orangtuanya dapat merestui semua keturunananya hingga beroleh umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar orangtuanya dapat lekas sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan, maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada juga orangtua yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi berlaku.
Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Sambil makan, salah seorang dari pihak boru (suhut) memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada hadirin.Setelah selesai makan, diadakanlah pembagian”jambar (suku-suku daging). Gaor bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru (anak perempuan), Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula, Hasatan (ekor) untuk keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk dongan sabutuha (teman semarga) dan jambar (potongan daging-daging) untuk semua yang hadir). Setelah pembagian jambar maka mulailah kata-kata sambutan yang pertama oleh anak Sulung dari orangtua ini dilanjutkan dari pihak boru, dongan sabutuha, dongan sahuta, dan terakhir dari hula-hula.
Setelah selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan diadakanlah doa penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka pada hari berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi dengan membawa dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak) yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang
(memberikan kain adat). Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang sakit, disitulah merka memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu dengan meletakkannya di atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya orangtua tersebut cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang.
Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru brdoa dan menyuguhkan daging lengkap dengan suku-sukunya kepada pihak hula-hula. Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya orangtua yang gaur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan
diselimuti dengan kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan, pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk kemudian untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah dihubungi pihak famili dan mengundang pihak hula-hula, boru, dongan tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum (Mangarapot). Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (Manggokkon hula-hula, boru, dongan sabutuha (yang terdiri dari ternan semarga, teman sahuta, teman satu kampung) serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak suhut lainnya ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya) sebagai makanan pesta atau untuk borotan.
Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu lakilaki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan.Pakaian
adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan
dalam upacara saur matua. pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan.
2. Acara Pelaksanaan Upacara Kematian Saur Matua
Setelah keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara kematian gaur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu :
1. Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman ).
2. Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum mengantarkan jenazah ke liang kubur.
1. Upacara di jabu (di dalam rumah)
Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri
dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos.
Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua yang meninggal masih ada yang menangis.
Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah
(bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih).
Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan danmengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama.
Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru
disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan.
Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya masingmasing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.
2. Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari.
3. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.
4. Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.
5. Gondang yang terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.
Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam memainkan gondang sabangunan.
Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan menotor semua unsur Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa rnasuk kedalam rumah dan mayat
dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja.
Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan diselimuti dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian ulos tujung, ulus sampe, ulus panggabei.
Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda) disertai isak tangis baik dari pihak suhut maupun hula-hula sendiri. Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang sedalamdalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan diatas bahu dan tidak diatas kepala. Ulos itu disebut ulos sampe atau ulos tali-tali. Dan pada waktu pemberian ulos sampe-sampe itu semua anak keturunan yang meninggal berdiri di
sebelah kanan dan golongan boru di sebelah kiri daeri peti mayat.
Setelah ulos tujung diberikan, kemudian tulang dari yang meninggal memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang diletakkan pada mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas badannya. Dan bona tulang atau bona ni ari memberikan ulos sapot tetapi tidak langsung diletakkan di atas badan yang meninggal tetapi digerbangkan diatas mayat peti saja. Maksud dari pemberian ulos
ini adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara tulang dengan bere (kemenakannya).
Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.
Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya
peti mayat dibawa ke halaman rumah orangtua yang saur matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan rada sore hari.
Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai ( pagi hari ).
1. Upacara di jabu menuju maralaman
Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiapsiap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki
berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).
Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.
2. Upacara Maralaman (di halaman rumah)
Upacara maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat yang gaur matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang gaur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.
Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah
duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.
Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup.
Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang
sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.
Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.
Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut.
Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.
Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan
mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.
Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka.
3. Acara Sesudah Upacara Kematian.
Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pada saat itulah kuda yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta atau upacara yang dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini dipimpin langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:
Kepala untuk tulang
Telur untuk pangoli
Somba-somba untuk bona tulang
satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
Leher dan sekerat daging untuk boru
Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hulahula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini, akan diberikan piso yang disebut “pasahatkhon piso-piso”, yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan
keadaan.
Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang.
Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan “borunya” setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula datang
untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.
Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua yang meninggal, dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.
Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
• Irwansyah Hutasuhut. Analisis Komperatif Bentuk (penggarapan) dan Tehnik permainan dari Sebuah Gondang (Komposisi Lagu) yang: Disajikan oleh Tujuh partaganing. skripsi tidak Diterbitkan. Medan; Fakultas Sastra Jurusan Etnomusikologi USU,1990.
• A. Pasaribu. Analisis Musik Indonesia. Jakarta; pantja simpati, 1987.
• N.H. Naingggolan. Musik Tradisional Batak Toba : Pembinaan dan Pengembangan. skripsi Tidak Diterbitkan. Medan; Fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP, 1979.
• J.C. Verqouwen. Masyarakat dengan Hukum Batak Toba. Jakarta; Pustaka Azet, 1986.
• Payung Bangun. “Kebudayaan Batak II dalam Koenjaraningrat, (ed). Manusia dgn Kebudayaan di Indonesia. Jakarta; Djambatan, 1980.
• Emma S.M. Pangabean. Fungsi Gondang Sabagunan Dalam Upacara Kematian Saur Matua Pada Masyarakat Batak Toba.Skripsi Tidak Diterbitkan. Medan; Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Jurusan Antropoloqi, 1991.
• MT siregar. Ulos Dalam Tatacara Adat Batak. Medan; C.V. Napitupulu & Son.
• DJ. Gultom Raja Marpodang. Dalihan Hatolu. Medan,1987.
Oleh : IRFAN, Jurusan Antropologi, Fakultas Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


Darah Batak dan Jiwa Protestan
Jan 24, '08 6:10 AM
untuk
1. INJIL DATANG KE TANAH (JIWA BATAK)
.
BERABAD-ABAD suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah bergunung-gunung di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya sendiri, Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaries dari Eropah untuk memperkenalkan INJIL kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita yang beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang hidup. Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian kepada kehidupan yang kekal. Injil telah datang
dan merasuk ke Tanah (baca: jiwa) Batak!
.
2. MENERIMA INJIL DAN TETAP BATAK
.
Namun penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat tidaklah membuat warna kulit kakek-nenek kita berubah dari “sawo matang” menjadi “putih” (bule), atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu juga tidak mengubah status kebangsaan mereka dari “Batak” menjadi “Jerman”. Sewaktu menerima Injil dan dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu kita tetaplah tinggal Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris Sumatera dengan segala dinamika dan pergumulannya. Para missionaries itu juga tidak berusaha mencabut kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan menghayati Firman Tuhan itu dengan baik sekali. Selanjutnya melatih mereka memuji dan berdoa kepada Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan Inggris atau Yahudi).
.
3. INJIL DAN KOMUNITAS BATAK MODEREN
.
Injil itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja dan Juruslamat, Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus itulah kita menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu, kita yang sekarang pun mengalami bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah warna kulit kita dari sawo matang menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari Batak-Indonesia menjadi Eropah-Amerika. Sebagai pengikut Kristus rupanya kita tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan berbudaya lain. Tidak ada bahasa dan budaya atau status social tertentu yang mutlak menjamin kita lebih dekat kepada Kristus. (Gal 3:28) Tidak ada juga bahasa yang menghalangi kita datang kepadaNya.
.
4. FIRMAN MENJADI MANUSIA
.
Firman telah menjadi manusia sama dengan kita dan tinggal di antara kita (Yoh1:14). Itu artinya Itu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup diantara kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada keragu-raguan kita untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa, idiom, terminologi, simbol, ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak (termasuk Indonesia dan modernitas) kita Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan hayati.
.
5. DAHULU DAN SEKARANG
.
Bagaimanakah kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai orang Kristen? Memang harus diakui bahwa pada awalnya – jaman dahulu – tortor dan gondang adalah merupakan ritus atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa leluhur kita yang belum Kristen menggunakan seni tari dan musik tortor dan gondang itu untuk menyembah dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun kebersamaan dan komunalitas mereka. Disinilah kita sebagai orang Kristen (sekaligus Batak-Indonesia) harus bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta kreatif. Kita komunitas Kristen Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor dan Gondang Batak warisan leluhur pra kekristenan itu namun dengan memberinya makna atau arti yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang menyelamatkan kita dari dosa, dan Roh Kudus yang membaharui hidup dan mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih sama namun isinya baru. Ini mirip dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya pohon terang itu adalah tradisi bangsa-bangsa Eropah yang belum mengenal Kristus namun kemudian diberi isi yang baru, yaitu perayaan
kelahiran Kristus. Begitu juga dengan tradisi telur Paskah, Santa Claus dll.
.
6. MENGACU KEPADA ALKITAB
.
Dalam Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja Korintus pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang dijual di pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan “boleh” namun sebagian lagi mengatakan “tidak”. Rasul Paulus memberi nasihat yang sangat bijak. “Makanan tidak mendekatkan atau menjauhkan kita dari Tuhan. Makan atau tidak makan sama saja.” (I Kor 8:1-11). Keadaan yang mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh memakan segalanya. (I Kor 14-15). Rasul Paulus memberi nasihat “Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (I Kor 14:17). Kita boleh menarik analogI dari ayat-ayat ini untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai untuk penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.. Selanjutnya: kita sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh Kudus.
.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada bedanya di hadapan Tuhan. Tenunan ulos Batak dengan batik Jawa atau brokart Prancis sama saja nilainya di hadapan Kristus. Taganing atau orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. keduanya dapat dipakai memuliakan Allah (atau sebaliknya bisa juga untuk menghinaNya).
.
7. MENGGARAMI DAN MENERANGI BUDAYA
.
Persoalan sesungguhnya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan antara iman Kristen dan budaya. Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai, merasuki, memperbaiki realitas sosial, ekonomi, politik dan budaya yang ada.
.
Itu artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos) namun untuk menggarami dan meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos tetapi memberinya makna baru yang kristiani. Namun sebaliknya kita juga diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu saja kepada tuntutan budaya itu! Agar dapat menggarami dan menerangi budaya (tortor, gondang dan ulos dll) kita tidak dapat bersikap ekstrim: baik menolak atau menerima secara absolut dan total. Kita sadar sebagai orang Kristen bahwa kita hanya tunduk secara absolute kepada Kristus dan bukan kepada budaya Sebaliknya kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat mengasingkan diri dari budaya. Lantas bagaimana? Disinilah pentingnya membangun sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan iman Kristen dan budaya Batak itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus diubah? Mana yang relevan dengan kekristenan, Indonesia dan modernitas dan mana yang tidak lagi relevan?
.
8. TORTOR DAN GONDANG KRISTIANI
.
Kita akui jujur sebelum datangnya kekristenan tortor dan gondang adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak, dan manusia), menolak bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek moyang. Bagi kita orang Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah agar menurunkan berkatNya, namun salah satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan syukur dan sukacita kita kepada Allah Bapa yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan membangun persekutuan sesama kita. Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan gondang dianggap sebagai reflektor atau yang memantulkan permintaan warga kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman Kristen gondang itu hanyalah alat musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat menyampaikan syukur dan atau permohonan kita kepada Allah Bapa tanpa perantara atau reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum kekristenan, tortor dan gondang, sangat terikat kepada aturan-aturan pra-kristen yang membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh manortor dengan membuka tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu saja semua orang boleh bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk orang yang belum atau tidak menikah, belum atau tidak memiliki anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga di mata Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak bernoda (I Pet 1:19).
.
Sumber :
Pdt. Daniel TA Harahap
http://rumametmet.com
Sebelumnya: Dalihan Na Tolu
Selanjutnya : Hamoraon dan Teologi Kemakmuran


Pandangan INJIL terhadap UPACARA ADAT BATAK



Written by bagmanroymanalu

sumber: http://mon4ng-artikel.blogspot.com/2009/02/pandangan-injil-terhadap-upacara-adat.html
Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di belahan dunia Timur dengan di belahan dunia Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan masyarakat Timur dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain -lain. Upacara-upacara di sepanjang lingkaran hidup manusia itu di dalam antropologi dikenal dengan istilah rites de passages atau life cycle rites.
Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara ini didasarkan pada pemikiran bahwa masa peralihan tingkat kehidupan itu mengandung bahaya gaib. Upacara adat dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang terhindar dari bahaya atau celaka yang akan menimpanya. Malahan sebaliknya, mereka memperoleh berkat dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip universal yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat itu.

Beberapa life cycle rites yang dijumpai pada masyarakat Batak Toba di antaranya: mangganje (kehamilan), mangharoan (kelahiran), martutu aek dan mampe goar (permandian dan pemberian nama), marhajabuan (menikah), mangompoi jabu (memasuki rumah), manulangi (menyulangi/menyuapi), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang), dll. Pada masyarakat Batak lainnya (Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak Dairi), upacara tersebut memiliki sebutan-sebutan yang berbeda.

Persoalan besar dan sangat penting yang dihadapi oleh seseorang yang memutuskan untuk sungguh-sungguh mengikut Tuhan Yesus adalah: apakah dia masih boleh terlibat dalam upacara adat Batak yang berasal dari masa ketika leluhurnya hidup dalam kegelapan rohani (haholomon) dan penyembahan berhala (hasipelebeguon). Permasalahan tersebut muncul ketika Injil Tuhan Yesus diberitakan pertama kalinya oleh para Missionaris di Tanah Batak, dan terus berlanjut hingga masa kini. Persoalan ini belum tuntas diselesaikan, baik sewaktu Pdt. I.L. Nommensen masih hidup, pada masa gereja dipimpin para Missionaris penerusnya, maupun pada masa pimpinan gereja berada di tangan orang Batak sendiri.

Nommensen mencoba membagi upacara adat atas tiga kategori, yaitu:
i. Adat yang netral
ii. Adat yang bertentangan dengan Injil
iii. Adat yang sesuai dengan Injil

Sebelum masalah itu tuntas, beliau mengambil kebijaksanaan untuk melarang keras dilaksanakannya upacara adat Batak oleh orang Kristen Batak, termasuk penggunaan musik dan tarian (gondang dan tortor) Batak. Akibatnya, jemaat yang baru dilayani pada masa itu banyak yang dikucilkan dari masyarakat, sehingga Nommensen terpaksa menampung mereka dengan membangun perkampungan baru, yang disebut Huta Dame.

Bahkan Raja Pontas Lumban Tobing pernah dikenai disiplin gereja karena menghadiri sebuah upacara kematian. Raja Pontas Lumban Tobing adalah orang yang memberikan tanahnya di Pearaja, Tarutung untuk dipakai bagi kegiatan pelayanan gereja. Dia termasuk seorang raja Batak yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus di awal pelayanan Nommensen. Raja ini mempunyai andil yang cukup besar dalam penyebaran Injil, khususnya dalam menjangkau raja-raja di wilayah
Silindung.

Namun sampai akhir hidupnya, Nommensen gagal menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu sumber kegagalan Nommensen terletak pada kategori yang dibuatnya sendiri.
Nommensen sulit menentukan upacara adat Batak mana yang tidak bertentangan dengan Injil
dan upacara adat mana yang netral.

Pada masa-masa akhir pelayanan para Missionaris di Tanah Batak, ditengah- tengah umat Kristen Batak muncul suatu desakan untuk mempertahankan berbagai upacara adat Batak dan mengganti kepemimpinan gereja dengan orang Batak sendiri. Usaha tersebut baru berhasil dengan diangkatnya Pdt. K. Sirait menjadi Ephorus Batak pertama (1942).

Tekanan supaya diizinkannya kembali upacara adat muncul sebagai dampak negatif dari strategi penginjilan di tanah Batak dengan pendekatan struktural masyarakat Batak. Penginjilan dilakukan dengan memusatkan perhatian kepada raja-raja yang memimpin di wilayah masing-masing marga. Pertobatan seorang raja biasanya segera diikuti dengan pembaptisan massal dari penduduk di
wilayah itu, yang umumnya memiliki ikatan kekerabatan dengan sang raja. Dengan cara ini, para Missionaris berhasil dengan cepat mengkristenkan wilayah Tapanuli bagian Utara.

Pihak gereja yang mengutus Nommensen menolak adanya pembaptisan massal yang tidak didasarkan pada pertobatan pribadi. Namun, Nommensen terpaksa melakukannya mengingat cepatnya gerakan islamisasi di Tapanuli Selatan, yang digerakkan oleh pasukan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Rao. Nommensen berharap mereka yang telah dikristenkan dapat dibimbing dalam ajaran Tuhan di kemudian hari untuk memasuki pertobatan pribadi, mengikut Yesus karena kemauan sendiri dan karena sudah mengerti ajaran Injil.

Dalam kenyataannya, pembaptisan massal kerabat seorang raja yang menjadi pengikut Yesus banyak dilakukan karena solidaritas kekerabatan, bukan karena pertobatan murni dari pemahaman akan Injil Yesus Kristus. Banyak dari mereka belum mengenal kekayaan dan kemuliaan Injil Yesus Kristus sehingga tidak pernah mengalami pembaharuan hidup oleh kuasa Roh Kudus dan mengerti keunikan Injil Kristus.

Pembaptisan massal tersebut memberikan kesibukan yang luar biasa bagi para Missionaris dalam melayani Jemaat baru tersebut. Karena keterbatasan jumlah Missionaris, banyak anggota Jemaat tersebut yang tidak sempat dibina dalam prinsip-prinsip sejati pemuridan Yesus Kristus. Secara organisasi mereka anggota gereja, tetapi dalam pemikiran dan cara hidup mereka masih sebagai
orang Batak Haholomon (kegelapan) yang terikat dengan cara pikir dan cara hidup hasipelebeguon.

Persoalan ini juga disebabkan oleh tidak adanya pedoman atau aturan gereja yang jelas dari pimpinan di Jerman, yang mengirim para Missionaris. Mereka sendiri belum dapat memutuskan sikap yang jelas terhadap upacara adat Batak karena upacara adat Batak merupakan hal baru bagi mereka. Karenanya, terdapat perbedaan sikap yang belum pernah dituntaskan di antara para Missionaris dalam menyikapi jenis-jenis upacara adat Batak yang harus ditinggalkan. Namun pada
prinsipnya, mereka sangat menekankan bahwa segala bentuk hasipelebeguon harus ditinggalkan, karena bertentangan dengan Firman TUHAN.

Pdt. I.L.Nommensen yang pelayanan utamanya berada di Silindung memiliki sikap yang tegas melarang keberadaan berbagai unsur upacara Hasipelebeguon, termasuk tortor dan gondang. Tetapi Gustav Pilgram yang melayani di Balige dan sekitarnya justru mengizinkan tortor dan gondang dilaksanakan dengan beberapa persyaratan seperti: unsur hasipelebeguon harus dihilangkan, pemimpinnya harus missionaris, dilaksanakan pada siang hari, peralatannya milik orang Kristen, dan tidak boleh diikuti oleh orang yang belum percaya kepada Tuhan Yesus.

Perbedaan sikap Pilgram itu dianggap oleh banyak orang Batak sebagai lampu hijau bagi penerimaan adat Batak di dalam kekristenan. Mereka tidak memahami alasan Pilgram mengizinkan dan memahami sikap dasar Pilgram bahwa segala bentuk hasipelebeguon tetap harus disingkirkan dari kehidupan kekristenan.
Alasannya untuk mengizinkan tortor dan gondang dapat kita baca dari “referat 1885” (dikutip dari buku “Parsorion ni Gustav Pilgram”, karangan DR. Andar Lumban Tobing):

“Disipareonta tung sogo do gondang i, jala tortor i pe ndang pasonanghon pamerenganta. Alai na mansai manarik gondang dohot tortor i di halak Batak, boi do dibuktihon godang ni loloan na bolon na mandohotsa. Haru angka Kristen dohot angka parguru pe, tung maol do padaohon nasida sian i. Aut so manarik situtu na ginoran ondeng tu halak Batak i, ndang apala penting tema i, ia so i, molo halak Kristen naung marpangalaman sambing do siadopanta dison, na so mamorluhon gondang dohot tortor, ndang penting tema ginoran nangkin, ai manang ise marnampunahon Anak ni Amata, nunga di ibana hangoluan na saleleng-lelengna, nunga martua nuaeng nang ro di saleleng-lelengna, jala ndang mamorluhon gondang dohot tortor be ibana. Alai dison angka Kristen na baru tardidi dope dohot angka na so marpangalaman, na ingkon sitogu-toguon dope songon dakdanak. Didok rohangku, ndang adong hakta mambuat sude sian nasida naung adong hian di nasida, saleleng so adong pangantusion di nasida mangonai na dumenggan i na naeng boanonta tu nasida.”

Pilgram tidak setuju, namun terpaksa mengizinkan keberadaan gondang dan tortor. Mereka dinilai belum memiliki pengertian akan Kristus, belum berpengalaman, masih seperti seorang anak kecil. Dia berkeyakinan, bila orang Batak itu sudah memiliki pengenalan akan Kristus (dewasa rohani), dia akan mengenal arti hidup yang kekal di dalam Kristus itu, dan pada akhirnya mereka tidak memerlukan lagi tortor dan gondang itu dan meninggalkannya. Jadi tidak perlu dipaksa. Namun, setelah ditunggu selama seratus lima belas tahun kemudian, yakni awal tahun 2000 ini, masih banyak orang Kristen Batak yang masih hidup didalam tingkat rohani seperti yang dikatakan oleh Pilgram itu.
Alangkah pedihnya hati Pilgram kalau melihat kenyataan seperti yang ada saat ini.

Pendudukan Jepang memaksa para Missionaris meninggalkan Indonesia tanpa berhasil menuntaskan masalah upacara adat. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan teologia (theologia in loco) dan kebingungan rohani di tengah-tengah Jemaat Batak. Keterikatan dengan pola hidup lamanya telah mendorong Jemaat untuk mendesak pimpinan gereja mengizinkan kembali pelaksanaan berbagai upacara adat. Desakan ini didukung oleh argumentasi teologis yang dikemukakan
para pemimpin rohani yang belum mengalami pembaharuan total dalam pola pemikirannya.

Argumentasi teologis tersebut merupakan suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan kebenaran ajaran Injil dengan ajaran agama Batak, teologia yang bersifat sinkretis (pengajaran atau cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran), yang dapat diterima oleh pemikiran jemaat kebanyakan. Dalam teologi ini diakui bahwa Yesuslah satusatunya Jalan, Kebenaran, dan Hidup, tetapi dalam hidup sehari -hari perlu dipertahankan upacara adat (agama) Batak, yang diketahui dengan jelas berasal dari Hasipelebeguon.

Teologi Sinkretis inilah yang diajarkan kepada Jemaat Kristen Batak sampai hari ini. Teologi Sinkretis ini telah menjadi arus utama didalam pemahaman iman Jemaat Kristen Batak pada masa sekarang. Akibatnya, pada generasi berikutnya merebak kembali pelaksanaan berbagai upacara adat yang sebelumnya telah dilarang oleh para Missionaris untuk dilakukan. Sebagai contoh, upacara kematian (hamatean), upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi),
pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya.

Bukan itu saja, upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada masa kegelapan, kembali merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang. Kebangkitan penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya pembangunan tugu-tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun di sepanjang jalan lintas antara kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut dibangun oleh keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu parsadaan). Pembangunan ini telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan mendatangkan kemerosotan rohani yang dalam. Kalau dahulu Nommensen mau dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan leluhur marganya diatas bukit Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak pendeta dan penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di tugutugu marga.

Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara dari masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian gerejawi, yang dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga dimana tulang belulang leluhur tersebut dikuburkan kembali. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa-kuasa setan melalui datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang belulang leluhur marga.

Tanpa disadari umat Tuhan di tanah Batak telah berubah menjadi umat yang mendua hati (shizoprenis: terpecah), yang pada satu sisi mencoba untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus, pada sisi yang lain giat melakukan ajaran agama nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian terjadi pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus Kristus. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil yang mutlak menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada Adat (agama Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan.

Sinkretisme orang Kristen Batak dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan. Perkawinan orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara adat Batak, sering
menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah. Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan datu digantikan oleh pendeta, tetapi
rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya. Kesempurnaan dan kemutlakan karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan leluhur itu.

Sinkretisme ini bukan hanya terjadi di kalangan gereja -gereja tradisional Batak, tetapi juga telah merembes kepada orang-orang Kristen Injili yang mengaku Alkitabiah, menjunjung tinggi keunikan Injil dan lebih giat memberitakannya. Dari mimbar kaum Injili yang ada di Sumatera Utara sering
disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara adat Batak. Merekapun banyak yang terlibat di dalam pelaksanaan aktivitas tersebut.

Orang Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap, dan kebenaran tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran. Dalam bahasa Tuhan Yesus:
“Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).

Seiring dengan merebaknya kembali aktivitas upacara adat di tengah-tengah bangsa Batak, kemerosotan rohani yang besar terjadi, baik pada kaum awam, maupun pada pemimpin gereja. Kemerosotan itu nampak pada banyaknya perpecahan dalam gereja Batak, contohnya kasus perpecahan gereja HKI, GKPI, dan HKBP.
Perpecahan itu juga telah terjadi pada hampir setiap gereja suku di Sumatera Utara. Perpecahan gereja Batak banyak bersumber pada akar budaya Batak itu sendiri, dan konflik kepentingan di antara pemimpin umat; bukan karena masalah teologia. Perpecahan yang besar berpuncak pada kasus gereja HKBP yang sangat menghebohkan, yang telah banyak mengorbankan materi, darah bahkan nyawa manusia.

Semuanya sangat mempermalukan nama Tuhan Yesus. Kemuliaan dan kehormatan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan Yesus, telah diberikan kepada iblis dan Pemimpin Jemaat. Wajar jikalau damai Tuhan Yesus tidak ada disana. Seruan para malaikat di Betlehem mengajarkan bahwa damai Tuhan hanya akan diberikan kepada orang yang berkenan kepada-Nya, yaitu orang yang memberikan kemuliaan kepada Tuhan Yesus.
“Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14).
Gereja HKBP (tempat penulis saat ini bergereja) sering diserukan sebagai “HKBP Na bolon I” (HKBP yang besar), padahal gelar Na Bolon I tersebut hanya layak diberikan kepada Yesus Kristus.

Gereja yang seharusnya Duta Pembawa Damai di dunia, telah berubah menjadi sekumpulan orang-orang yang saling berperang. Gereja telah menjadi arena peperangan baru bagi orang Batak di zaman modern ini. Peperangan bukan hanya terjadi di kalangan kaum awam, namun juga telah merebak sampai kepada pucuk pimpinan gereja itu sendiri. Sangat tepat dikatakan bahwa orang Batak telah kembali kepada masa hidup nenek moyangnya, yang ditandai dengan tingkat
konflik yang tinggi, dimana sering terjadi peperangan (marporang) antar kampung (huta). Konflik di gereja HKBP beberapa tahun belakangan ini merupakan contoh terbesar dari peperangan antara sesama orang Batak masa kini.

Pemberitaan keselamatan manusia di dalam Tuhan Yesus, yang seharusnya merupakan kesibukan utama bagi gereja Tuhan, telah berganti dengan banyaknya waktu yang terbuang untuk mengikuti berbagai upacara adat. Kelalaian dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus tidak pernah dinyatakan sebagai dosa yang serius oleh pimpinan gereja. Tetapi, penolakan aktivitas upacara adat, atau ketidaktepatan pelaksanaan upacara adat segera akan mengundang komentar yang tajam dan ramai. Perdebatan dan pertengkaran karena masalah adat merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Kemerosotan rohani dapat kita lihat juga dalam kehidupan sehari-hari. Anda jangan heran, jikalau pada masa sekarang, banyak orang Batak Kristen yang sangat takut untuk tidak melakukan upacara adat. Sementara untuk tidak mentaati Firman Tuhan itu merupakan hal yang dianggap sepele saja oleh mereka.
Bahkan, sering dijumpai orang yang lebih senang dikatakan sebagai orang yang tidak “ber-Tuhan” (ndang martuhan) daripada dikatakan sebagai orang yang “tidak beradat” (ndang maradat). Tanpa disadari, adat Batak telah kembali menjadi berhala atau ilah yang dijunjung tinggi di hati orang Kristen Batak.

Kemerosotan rohani juga dapat kita lihat pada banyaknya orang-orang Kristen Batak yang
terlibat berbagai dosa seperti perdukunan, spiritisme (berhubungan dengan arwah orang mati), memberikan persembahan di kuburan, perzinahan, kebebasan seksual, rentenir, perjudian, kemabukan, korupsi, suap-menyuap, pembunuhan, kekerasan (premanisme), perkelahian dan berbagai dosa lainnya.

Dalam dunia pekerjaan, berbagai jabatan yang penting dan strategis di birokrasi dan pemerintahan, yang pada awal kemerdekaan banyak dipegang oleh orang Kristen Batak, pada saat ini telah beralih kepada orang-orang lain. Bukan itu saja, peluang untuk mendapatkan pekerjaan khususnya dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi sangat sulit diperoleh oleh orang Batak Kristen,
kecuali dengan menyogok (ber-KKN).

Kita semua tahu bahwa banyak orang Kristen Batak yang telah menjual imannya (iman kepada Yesus Kristus), demi memperoleh suatu pekerjaan, pernikahan, pangkat dan jabatan. Barter harta rohani yang tak ternilai harganya, dengan barang-barang murahan dari dunia ini telah banyak dilakukan oleh kaum Esau dari Bona Pasogit, Tano Batak. Firman Tuhan dibawah ini patut menjadi bahan pemikiran kita:
“Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan TUHAN, Bapamu, yang kusampaikan pada hari ini engkau lakukan dengan setia” (Ulangan 28:13).

Karena itu, persoalan adat kini harus diselesaikan, karena kita mengetahui bahwa upacara
tersebut telah menimbulkan masalah rohani yang besar. Kita tidak mau membiarkan iblis memperoleh kembali peluang untuk mencengkramkan kukunya pada generasi Batak saat ini. Semuanya itu sangat mendukakan hati Tuhan dan mendatangkan murka atas bangsa Batak. Karena itu sudah merupakan kewajiban dari generasi Kristen Batak pada masa kini untuk mengevaluasi kembali kehidupan kerohaniannya di hadapan Tuhan Yesus. Evaluasi tersebut mencakup cara pandang, sikap dan tindakan kita terhadap eksistensi upacara adat.

Evaluasi itu hanya mungkin dilakukan apabila kita mau datang kepada Tuhan Yesus dengan sungguh-sungguh, dan meminta dengan tekun agar Dia menerangi hati kita, dan menyingkapkan rahasia Firman-Nya. Karena hanya Tuhan Yesus, melalui Roh-Nya, yang memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan seluruh kebenaran Firman Tuhan. Sehingga Dia berkenan mengoreksi segala pemikiran, konsep, nilai, prinsip, cara dan tindakan kita selama ini. Seruan untuk kembali kepada
Tuhan Yesus sangat mendesak untuk diberitakan pada saat ini.

“Wahai bangsa Batak, kembalilah kepada Tuhan Yesus”, “Back to Jesus!”

Semuanya ini hanya mungkin, bila kita mau merendahkan hati untuk dikoreksi dan diajar oleh Tuhan Yesus, sama seperti seorang anak kecil, yang memiliki kepolosan, keterbukaan dan kejujuran untuk diajar. Bukan untuk sekedar menambah pengetahuan teologia belaka, tetapi benar-benar untuk mentaati-Nya. Karena Roh Kudus hanya akan mengerjakan hal tersebut bila kita dinilai-Nya telah memiliki ketaatan hati, sekalipun kebenaran itu sangat pahit untuk
memulainya (Kisah Para Rasul 5:32).

Karena itu, doa sang Pemazmur sangat relevan untuk dipanjatkan secara sungguh-sungguh oleh orang-orang Kristen Batak:
“Selidikilah aku, ya Tuhan, dan kenalilah hatiku, ujilah aku dan kenalilah pikiranku; lihatlah apakah jalanku serong dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” (Mazmur 139:23,24)

Renungan ini mencoba melihat kembali tentang sikap dan pandangan Tuhan terhadap masalah upacara adat, khususnya yang hidup dalam masyarakat Batak, dengan mengambil contoh kasus utamanya dari sub suku bangsa Batak Toba.
Penulis hanya akan membatasi pembahasan pada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pelaksanaan upacara adat, dan tidak akan menguraikan detail dari pelaksanaan upacara tersebut. Karena melalui renungan ini, tidak mungkin menguraikan dan mengkaji segala aspek dari berbagai macam upacara adat yang ada di tengah-tengah masyarakat Batak.

Penulis sadar, bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini sangat bertentangan dengan pemahaman teologi yang umumnya diyakini oleh masyarakat Batak sekarang. Apa yang dituliskan disini merupakan suatu pemahaman alternatif, alkitabiah, dan Injili, yang Tuhan Yesus bukakan secara bertahap kepada penulis.
Penguraian ini akan menyentuh hal-hal yang sangat sensitif di hati orang Batak, yang mungkin akan dapat membangkitkan rasa marah dan benci bagi sebagian orang. Tetapi penulis berketetapan hati di hadapan Tuhan Yesus untuk memberitakannya. Kalau Anda mau mencari kebenaran Tuhan, dipersilahkan untuk membacanya terus.

Pertentangan pasti muncul, karena sudut pandang dalam melihat adat itu memang berbeda. Pandangan Kristus tidak pernah sama dengan pandangan manusia yang duniawi. Pandangan Kristus jauh lebih tinggi dari pandangan duniawi. Penafsiran seseorang mengenai adat istiadat muncul dari suatu titik pijakan, sikap hati dan tujuan yang hendak dicapainya. Persoalannya, apakah kita memiliki dasar pijakan yang sama dengan Tuhan Yesus? Kuasa Roh Kudus hanya
akan menyertai dan mengurapi orang-orang yang memberitakan Firman sesuai dengan maksud-Nya.

Penulis sangat terkejut ketika membaca sebuah buku, yang berjudul “Christ and Culture” (Kristus dan Kebudayaan), yang ditulis oleh seorang teolog terkenal, yang bernama DR. Richard Niehbur. Dalam buku tersebut dijelaskan alasan menyebabkan orang-orang Yahudi dan para pemimpin bangsa tersebut menyalibkan Tuhan Yesus. Niehbur berpendapat bahwa orang-orang Yahudi membunuh Tuhan Yesus karena segala pengajaran dan tindakanTuhan Yesus merusak adat istiadat dan agama Yahudi, yang sangat mereka banggakan. Akhirnya, mereka harus memilih,
antara membinasakan Tuhan Yesus atau membiarkan agama dan adat istiadat Yahudi hancur. Demi mempertahankan keutuhan adat dan agama tersebut, mereka memilih untuk membinasakan Tuhan Yesus, orang yang dianggap sebagai sumber kerusakan itu.

Peristiwa tersebut menjadi pelajaran, sekaligus tantangan bagi kita sebagai pengikut Kristus didalam menghadapi kontroversi masalah adat. Yesus Kristus hadir di tengah-tengah kemerosotan rohani bangsa Israel yang menjalar di seluruh bidang kehidupan. Dia segera mengenali ketidakberesan bangsa tersebut dalam cara pandang dan sikap terhadap Firman- Nya. Lalu, dari mulut-Nya yang kudus keluar penilaian dan koreksi-Nya terhadap agama dan adat istiadat bangsa
tersebut.

Demikian juga bagi bangsa Batak, di tengah-tengah kemerosotan rohani yang terjadi masa kini, sangat diperlukan kembali adanya suatu reinterprestasi dan pembaharuan sika p akan eksistensi upacara adat Batak yang berasal dari masa kegelapan itu. Dengan kata lain, gereja Tuhan di tanah Batak sangat memerlukan “reformasi iman” dalam kehidupan rohaninya.

Karena itu, kita ditantang Tuhan untuk mengambil sikap, antara menyuarakan Injil atau mempertahankan berbagai upacara adat tersebut. Karena itu, penulis akan memaparkan beberapa prinsip utama yang mendasari upacara adat yang sangat bertentangan dengan Injil. Melalui beberapa prinsip itu kita akan melihat strategi iblis untuk mengikat dan mengendalikan hidup masyarakat Batak.
Strategi itu juga merupakan benteng rohani yang dibangun oleh iblis agar masyarakat Batak dapat diperhambanya dari generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian umat Tuhan akan kehilangan kekuatan rohaninya dan hidup dalam kekalahan rohani terhadap kuasa iblis dan roh-roh jahat. Selain itu, semangat dan kuasa untuk memberitakan Injil dapat dipadamkan dari tengah-tengah Jemaat Batak, seperti yang terjadi saat ini.

Dalam perbincangan sehari-hari, penulis sering mendengar keluhan dari orang-orang Batak tentang masalah adat. Banyak yang mengungkapkan keinginannya untuk terlepas dari upacara adat karena melihat tidak ada keuntungannya, bahkan menyalahi Firman Tuhan. Sayangnya, sangat sedikit dari mereka yang memiliki keberanian untuk melakukannya. Umumnya, mereka mengambil jalan aman dengan tetap melibatkan diri, daripada terlibat konflik dengan sesama kerabat atau jemaat gerejanya. Orang Batak telah kehilangan “darah” dalam menegakkan dan menyuarakan ajaran Injil.

Pada awal milenium ketiga ini, dimana saat kedatangan Tuhan Yesus semakin dekat, dibutuhkan adanya suatu kebangunan rohani di tengah-tengah bangsa Batak. Kebangunan rohani akan dimulai, jikalau ada orang-orang Batak yang memiliki cara pandang dan sikap yang lebih tajam dan Injili didalam menilai eksistensi upacara adat, serta memiliki keberanian untuk menyuarakannya pada zaman ini. Karena hanya orang-orang yang seperti ini yang akan diperlayakkan TUHAN untuk memasuki arena peperangan rohani melawan kuasa-kuasa kegelapan, yang telah membelenggu, membutakan serta melumpuhkan kehidupan umat Tuhan di tanah Batak. Kemenangan pasti menjadi milik kita.

Kepada orang yang benar-benar mencintai Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, perlu dibukakan berbagai bentuk benteng rohani yang telah dibangun oleh iblis dalam upaya menguasai, membelenggu, dan memperbudak bangsa Batak dari satu generasi ke generasi lainnya. Pengertian ini akan menolong mereka untuk dapat terlepas dari segala jerat iblis di dalam adat Batak, dan beribadah kepada Tuhan Yesus dalam kebenaran dan kekudusan seumur hidupnya.

Penghancuran benteng-benteng iblis yang ada dalam diri orang Batak akan menghasilkan saksi-saksi Kristus yang diurapi dengan keberanian dan kuasa Roh Kudus. Sehingga pada awal abad ke-21 ini akan bangkit orang-orang Kristen Batak yang dipakai oleh Tuhan dalam menyelesaikan Amanat Agung-Nya, dengan melepas mereka dari genggaman kuasa iblis. Dengan demikian kita dapat mempersiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya, dalam rangka
menyambut kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali, yang waktunya sudah semakin sangat dekat.

Renungan ini hanya ditujukan kepada orang-orang yang mau mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hatinya, yang mau dipakai-Nya dalam peperangan rohani. Yaitu, kepada mereka yang memiliki keprihatinan rohani (sense of spiritual crisis ) terhadap nasib bangsa Batak; kepada orang-orang yang mau mencari Kerajaan Sorga dan mau mengikut Tuhan Yesus dengan sungguh-sungguh. Karena hanya merekalah yang mau memikul salib Kristus sebagai konsekuensi atau harga dari ketaatan pada Injil untuk meninggalkan upacara adat Batak.

Sumber: Injil dan Adat Batak
karya James Silalahi


Dari Konflik ke Rekonsiliasi: Kasus Gondang Sabangunan dalam
Ordo Disiplin Batak Toba Gereja Protestan

Jurnal artikel oleh Mauly Purba; Journal of Southeast Asian Studies,
Vol. 36, 2005

Dari Konflik ke Rekonsiliasi: Kasus Gondang Sabangunan dalam
Ordo Disiplin Batak Toba Gereja Protestan

oleh Mauly Purba

Tujuan artikel ini adalah untuk mengeksplorasi sejarah dan
konsekuensi kebijakan Batak Toba Gereja Protestan 140 tahun
kontak dengan kosmologi Toba adat dan sistem kepercayaan yang dikenal sebagai
adat. Sementara banyak studi tentang kontak budaya menekankan pengaruh
yang diimpor pada sistem kepercayaan asli, artikel ini mengeksplorasi
Lorraine Aragon panggilan apa pentingnya lembaga lokal, yaitu,
sejauh mana mengkonversi mampu mempengaruhi dan efek
perubahan ke ortodoksi agama asing. (1) Hal ini juga prihatin
dengan upaya Gereja untuk memberlakukan dan menegakkan disiplin. The
dampak Kristen pada praktek adat Toba kontemporer
Protestan adalah subyek dari studi terpisah, (2) fokus saya di sini adalah
tentang sejarah tanggapan Gereja terhadap konflik yang timbul melalui
interaksi antara pandangan dunia berbeda, sistem kepercayaan dan
praktek budaya.

Bersama dengan pemerintah kolonial Belanda, Lutheran
Christian misionaris dari Missionsgesellschaft Rheinische (RMG)
dari Wuppertal-Barmen, Jerman, meninggalkan jejak yang mendalam pada Batak Toba
budaya; memang, mereka adalah agen utama perubahan sosial. Mereka
memperkenalkan orang untuk suatu agama baru dan budaya, termasuk baru
pendidikan dan sistem hukum, barang-barang komersial, gaya hidup, musik dan
instrumen serta sistem yang berbeda administrasi.
Christianisation dan kolonisasi secara bersamaan memberikan kontribusi terhadap
utama transformasi budaya awal masyarakat Toba sekitar
1860-an dan memanjang sampai saat ini. Meskipun tujuan Gereja dan
pemerintah tidak selalu kongruen, agama Kristen kolonial
dilindungi dan Gereja Protestan menikmati monopoli virtual pada
misionaris kegiatan sampai tahun 1930-an. Begitu sukses adalah Jerman
misionaris dalam dakwah di wilayah Toba yang dari ujung
abad kesembilan belas moto menyebar yang menyatakan bahwa 'to be Toba
Batak artinya menjadi Kristen ', yang berarti bahwa identitas Batak Toba
termasuk yang Kristen. (3)

Gereja Protestan Batak Toba sekarang salah satu yang terbesar Kristen
denominasi di Asia Tenggara dan kehadiran Kristen yang signifikan
di negara mayoritas Muslim. Tidak termasuk orang-orang yang menjadi milik
denominasi Kristen lainnya seperti Katolik, Methodis dan
Pentecostalists, hampir 2 juta orang Batak Toba terdaftar
hari ini sebagai anggota dari dua lembaga terbesar Gereja Protestan,
yang Huria Kristen Batak Protestan (Kristen Protestan Batak Toba
Gereja, HKBP) dan Gereja Kristen Protestan Indonesia (Protestan
Gereja Kristen Indonesia, GKPI, yang didirikan oleh kelompok yang memisahkan diri dari
pembangkang HKBP Batak Toba menteri di Pematang Siantar pada tahun 1964). (4)
Pada saat penelitian lapangan saya pada tahun 1994, HKBP memiliki 2.548 gereja dengan
1.598.346 anggota sedangkan 895 GKPI dimiliki gereja-gereja dengan 239.258
anggota. (5) Kebijakan Gereja diatur dalam Orde Disiplin
Gereja (dikenal dalam bahasa Batak Toba sebagai Ruhut-Ruhut
Paminsangon), ini adalah pernyataan resmi dari Gereja Sinode
(Sebuah badan administratif) tentang aturan dan disiplin, berdasarkan
Ajaran Kristen, yang mengatur perilaku yang sesuai untuk
jemaat dan membawa kekuatan hukum. Ada tujuh
Perintah Disiplin hingga saat ini, Orde saat Disiplin, dengan
akomodasi parsial adat, dirumuskan pada tahun 1987 (HKBP) dan
1982 (GKPI).

Ini bukan tujuan saya di sini untuk mendiskusikan alasan mengapa Batak Toba
diterima Kristen Protestan dengan antusiasme tersebut. Lebih penting lagi,
dari sudut Gereja pandang, adalah pertanyaan mengapa,
terlepas pemujaan mereka untuk Allah Protestan, rakyat
loyalitas terhadap aspek-aspek tertentu dari kosmologi leluhur mereka dan kepercayaan
sistem (dikenal secara kolektif sebagai adat) telah terbukti sangat ulet.
Fokus khusus dari penelitian ini adalah sikap Gereja berubah
terhadap kinerja musik Toba upacara dan tari - yang
gondang sabangunan dan tortor masing-masing - dan kelangsungan hidup ini
tradisi meskipun larangan sipil 59 tahun (1879-1938) dan
terus larangan Gereja. Sebuah studi dari upaya Gereja untuk datang
untuk berdamai dengan elemen problematis tunggal adat dan
upaya jemaat 'untuk mengakomodasi obiter Gereja dapat berfungsi sebagai
paradigma / studi kasus untuk dilema yang timbul, dalam kata-kata Aragon, dari
sebuah pertemuan 'dikemudikan oleh spiritual yang berbeda dan kekuatan politik
yang tembus pandang yang lain itu dijelaskan serta
frustasi '. (6) Untuk sementara pandangan tradisional melihat gondang
sabangunan sebagai bagian integral dari ritual adat yang bertujuan
tak terpisahkan terikat untuk menyembah, Gereja hanya bisa menemukannya diterima
jika itu recontextualised dalam kerangka ajaran Kristen.

Batak Toba individu dan kelompok sosial mematuhi berbagai
keyakinan agama, mulai dari kelompok animisme sepenuhnya adat-berorientasi
Kristen sepenuhnya berorientasi kelompok dengan berbagai dinegosiasikan
akomodasi di-antara. Para kegigihan dari tortor-gondang
tradisi pada pesta-pesta adat di masyarakat Batak Toba kontemporer adalah karena
kelanjutan dari nilai-nilai adat yang kuat dan praktek; lampiran ini
bukan murni sebuah satu emosional, itu juga politik dan etnis. (7)
Penelitian ini membedakan tiga era dalam sejarah kontak antara
Kristen dan adat atas pertanyaan gondang sabangunan dan
tortor. kolonial konflik di bawah misionaris Jerman (1860-an untuk
1940), rekonsiliasi di bawah para menteri Batak Toba (hingga 1970-an)
dan kelangsungan adat pra-Kristen dan musik
pertunjukan seni di dunia modern (1980-an sampai sekarang).

Pra-Kristen agama keyakinan

Mengapa praktek adat Batak Toba sebelum mereka memeluk agama Kristen?
Awalnya, kehidupan individu sosial seseorang itu diliputi dengan
arti agama, disutradarai oleh motif agama dan dikelilingi oleh
supranatural konsep tentang dewa-dewa. Secara tradisional, Batak Toba
percaya bahwa kekuatan supranatural telah berlalu adat pada mereka dan
bisa memberikan berkat pada mereka; otoritas itu ditegakkan dan
diperkuat oleh roh-roh para leluhur. (8) Ketiga terpenting
berkat adalah hasangapon (masyarakat menghormati, otoritas dan prestise);
hagabeon (memiliki banyak anak), dan hamoraon (kemakmuran). Untuk mendapatkan
berkat orang harus menjaga hubungan baik dengan dewa,
roh leluhur dan keluarga dalam kelompok istri-pemberi seseorang (hula-hula).
Dengan demikian tujuan utama dari adat berlatih adalah untuk menarik berkat
(Pemulihan harmoni, jaminan kesuburan dan perlindungan
kesejahteraan desa dan kota-kota dan penduduknya mereka) dan menghindari adat
sanksi. Ketidakpatuhan terhadap adat diyakini menghasilkan
infertilitas, penyakit, bencana dan gagal panen. (9)

Ketika adat dipraktekkan di perayaan, hal itu disebut ulaon adat atau
pesta adat ('pesta adat'). pesta Adat dapat dibagi menjadi dua
kategori berdasarkan peserta: horja dan pesta bius. Dalam
umum, horja dikaitkan dengan perayaan upacara yang dilakukan di
klan (marga) tingkat. Pada horja, peserta terdiri dari laki-laki
keturunan marga (dongan sabutuha) serta orang-orang yang 'memberi'
mereka anak-anak perempuan atau saudara perempuan dalam pernikahan (hula-hula) dan mereka yang
'Menerima' istri dalam pernikahan (boru). (Dalam hubungan Batak Toba
antara tiga partai ini dikenal sebagai '[dalihan na tolu tiga
perapian batu ']). Tujuan utama horja adalah
memperkuat hubungan sosial dan penyembahan leluhur
roh. (10) Orang-orang biasanya mengacu kepada bius pesta sebagai komunal
upacara kurban (mamele atau pamelean) di mana peserta
menyembah dewa. Sebuah bius pesta diselenggarakan oleh adat agama
dewan (parbaringin) dan dipimpin oleh Pande Bolon, pemimpin
parbaringin. Hal ini dihadiri oleh anggota dari desa yang berbeda,
federasi yang dikenal dalam Batak Toba sebagai bius. (11) Pada
pesta bius, berbagai upacara keagamaan komunal seperti taon mangase
(Sebuah upacara pengorbanan tahunan merayakan tahun padi-tumbuh
musim) dan sombaon mamele (upacara memanggil roh leluhur yang
diyakini menjadi dewa) dilakukan dan peran dari tiga
pihak kekerabatan (dalihan na tolu) diabaikan. Pada saat ini Toba
Orang Batak masih melakukan horja, tetapi tidak bius pesta lagi praktek.

pesta adat yang formal, kegiatan sosial khas diatur oleh
hukum adat. Eksklusif, sangat terorganisir dan terstruktur, mereka
bagian dari kehidupan sosial sehari-hari, tetapi mereka tidak terjadi setiap hari. Mereka memiliki
fungsi khusus - untuk merayakan hari pernikahan atau melakukan pemakaman;
untuk menyambut bayi yang baru lahir, untuk memulai mendirikan sebuah desa baru atau rumah;
untuk merayakan pindah ke rumah baru, musim padi-tumbuh atau
panen, atau hanya untuk ekspresi keagamaan, untuk menyembah leluhur
roh, dewa dan kekuatan gaib lainnya. Tidak seperti rutinitas sehari-hari
hidup, peserta pesta berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain
melalui pidato adat formal, pertukaran hadiah upacara seperti
selendang tradisional (ulos), dan mengkonsumsi makanan dikuduskan dan minum
(Sipanganon namarhadohoan) dengan iringan gondang dan
tortor. Pada pesta adat, peserta juga berkomunikasi dengan
kekuatan gaib dengan mengucapkan doa-doa ritual (tonggo-tonggo) dan
persembahan penyajian makanan, ternak disembelih dan dupa.

Cendekiawan sedikit perhatian adat sampai sekitar tiga dekade atau sehingga
setelah penerbitan buku JC Vergouwen 1933 The sosial
organisasi dan hukum adat Batak Toba dari Sumatera Utara.
Dari akhir 1950-an adat Batak Toba mulai menarik perhatian di
buku, artikel dan monograf. (12) Yang paling penting untuk penelitian ini,
adat juga diperkenalkan sebagai topik untuk seminar Gereja.Hari ini,
tetap menjadi masalah sosial yang menghasilkan diskusi oleh banyak orang lokal dan
asing ulama, adat praktisi dan menteri. Seringkali
diskusi di koran lokal dan majalah menjadi sangat polemik. (13)

Penulis dari berbagai disiplin ilmu telah mengusulkan berbagai definisi
adat. Setiap definisi membuat referensi ke rincian yang berbeda,
namun semua dari mereka menunjukkan bahwa konsep adat termasuk
implementasi sistem kepercayaan pra-Kristen Batak Toba.Yang paling
definisi berguna adalah bahwa adat adalah sistem terus berubah
sosial, etis dan religius prinsip dan praktek-praktek yang mengatur
kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat. Dengan demikian, adat termasuk
sipil hukum, etika sosial, penanda identitas gaya dan gaya hidup
dan norma-norma praktek kinerja yang religius dan ritual.Secara hukum, itu
kontrol rakyat menggunakan dan pendudukan lahan tidak terpakai, manajemen
mereka pertanian dan sistem irigasi, sistem warisan dan
tradisi perkawinan. (14) Dalam hal etika sosial, ia mengarahkan
orang berkenaan dengan perilaku yang tepat terhadap mereka dan mereka kinfolk
lingkungan, dan juga termasuk sistem kekerabatan. Sebagai penanda
identitas gaya dalam seni dan gaya hidup, itu mengatur ritual,
musik, tari dan perilaku sosial - seperti yang dilakukan, misalnya, di
pernikahan, upacara pra-pemakaman dan upacara penggalian tulang.
Adat direalisasikan dalam agama adat, yang Kristen
misionaris dan Christianised Batak Toba sebut sebagai hasipelebeguan
(Kepercayaan roh [paganisme]).

Ini gondang sabangunan itu, dan masih adalah, simbol musik adat.
Kinerja adalah / merupakan bagian integral dari Batak Toba tradisional
praktik-praktik agama dan budaya, melayani tidak hanya untuk menemani
upacara menari tortor di semua pesta adat tetapi, yang paling penting,
sebagai media komunikatif yang memperkuat hubungan antara
individu, kelompok orang, para dewa (misalnya, Mula Jadi Na Bolon,
Batara Guru, Soripada, Mangala Bulan, Saniang Naga Laut, Boraspati ni
Tano) dan roh leluhur. Selama berabad-abad Batak Toba dipraktekkan
gondang dan tortor sebagai bagian dari ibadah agama mereka, menerapkan
aturan sosial dan agama tertentu dikenal sebagai adat ni gondang (aturan
untuk gondang melakukan dan tortor). Aturan-aturan ini membimbing upacara
peserta, yang terdiri pemain ensemble (pargonsi), upacara
penari (panortor) dan host upacara (hasuhuton atau suhut).

Gondang sabangunan terdiri dari taganing (lima tunggal berkepala, kerucut,
menguatkan tuned drum - individual bernama Tingting, paidua ni Tingting,
painonga, paidua odap dan odap-odap - tergantung dari balok kayu dan
dipukul dengan sepasang tongkat kayu), dua bass drum (Gordang
[Tunggal berkepala drum] dan odap [berkepala dua-drum]), empat ditangguhkan
gong (Oloan, ihutan, panggora dan doal), sebuah sarune (double-reed
telepon udara) dan hesek (a idiophone logam atau kaca dipukuli dengan
kayu tongkat atau batang logam). (15) tradisional, satu musisi adalah
diperlukan untuk setiap instrumen, kecuali untuk taganing dan odap itu,
yang dimainkan secara bersamaan oleh pemain taganing.

Adat memelihara hubungan antara manusia yang hidup,
roh leluhur dan dewa-dewa lainnya dan komunikasi panduan ritual
antara mereka. Ritual dan upacara keagamaan memformalkan ini
hubungan ketika tortor dilakukan, disertai dengan gondang yang
sabangunan. Vergouwen, seorang perwira Belanda mantan yang mengamati
praktek adat dan gondang sabangunan kalangan masyarakat pada awal
1920-an, menulis bahwa:



gondang adalah ... diputar saat roh para leluhur,
sumangot Ompu ni, yang dipanggil pada acara seremonial dari segala jenis
ketika keberadaan, berkah dan bantuan dari dihormati
nenek moyang dipanggil. Hal ini dimainkan di adopsi dari nama; ketika
rumah disucikan, ketika sakit dan bencana harus
dihindari, ketika tulang-tulang dari salah satu nenek moyang yang dikuburkan kembali,
dll (16)

Batak akhir musikolog Liberty Manik mengamati bahwa di semua
adat dan perayaan agama gondang sabangunan memiliki peran sentral untuk
bermain. Penggunaan gondang dibatasi untuk perayaan yang telah
hubungannya dengan adat dan praktik keagamaan. " (17) ini adalah pendapat
dikonfirmasi selama studi lapangan saya. Penyair terkenal, sarjana dan
aktivis Sitor Situmorang mengamati bahwa gondang sabangunan itu
integral untuk setiap adat Batak Toba pra-Kristen dan agama
perayaan, di mana ia menjabat sebagai 'bahasa ritual', mungkin sebuah
cara berkomunikasi dengan para dewa melalui musik. Amani Bunga
Sinaga, pemain sarune dari Palipi, juga berpendapat bahwa
kinerja gondang sabangunan dibatasi dengan konteks
acara seremonial dan sebaliknya akan secara sosial tidak dapat diterima. (18)
musik Gondang jelas bukan konstituen bawahan adat dan
praktek keagamaan, melainkan penting untuk - memang, tidak dapat dipisahkan
dari - praktek-praktek ritual yang terlibat dan tidak dapat dilakukan kecuali
menyertai upacara ritual, di mana ia harus digunakan secara eksklusif untuk
menari mengiringi upacara. Teolog Jerman Lothar Schreiner
berpendapat bahwa gondang dan upacara tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial
orang dan dari pemujaan leluhur. (19)

Secara tradisional, musik gondang melakukan disajikan adat dan / atau
persyaratan agama, begitu juga undangan ke musisi
(Pargonsi) untuk melakukan. Para musisi selalu disebut na raja
ualu ('delapan raja'), status dikaitkan kepada mereka hanya pada
kesempatan kinerja mereka dari gondang sabangunan.Meskipun mereka
itu dan, tentu saja, orang biasa, para musisi menjadi
penting ketika melakukan gondang sabangunan dan harus dihormati
dan diperlakukan sebagai ahli. Inilah sebabnya mengapa musisi gondang selalu
ditangani dengan judul Pande nami atau partarias na malo ('gondang
ahli '). Pada masa pra-Kristen mereka bahkan disebut 'Batara Guru',
nama dewa dikreditkan dengan menjadi sumber kehidupan dan memiliki
pengetahuan yang mendalam tentang gondang musik. Ketika orang-orang membahas pargonsi
dengan nama ini, mereka benar-benar percaya bahwa musisi didewakan.
Upacara peserta percaya bahwa pargonsi dapat berkomunikasi
dengan dewa. Jadi musisi gondang memiliki fungsi religius tinggi
sebagai orang yang bisa menyampaikan permintaan rakyat kepada para dewa melalui
musik mereka. Sebagai Artur Simon menulis, pargonsi adalah mediator '
antara dewa dan orang-orang '. (20)

Gondang sabangunan dan tortor harus dilakukan secara simultan, sebuah
kinerja gondang tanpa tortor dianggap sebagai tidak lengkap dan
sesuai dengan praktek tradisional seperti yang diungkapkan dalam ni adat
gondang. Sebagai musisi mediasi antara manusia dan dewa, yang
tujuan tortor adalah untuk memperkuat hubungan sosial antara
peserta. Seperti musik, tortor adalah ritual bahasa seperti
alat komunikasi yang tujuannya adalah untuk memuliakan para dewa dan
roh leluhur dalam upacara keagamaan, untuk menghormati istri-memberi
pesta di pesta adat dan untuk sinyal rasa hormat dan berkah. Ini adalah
ekspresi dasar organisasi sosial dan keagamaan. (21) Setiap
orang yang hadir pada upacara adat - biasanya ratusan
orang - biasanya memiliki hak (jambar tortor) untuk melakukan tortor tersebut.
Namun, seperti tortor ini biasanya dilakukan secara kolektif dan tidak pernah
solo, peserta dibagi menjadi kelompok. kelompok mungkin merupakan
wilayah tertentu atau asosiasi marga, atau merupakan salah satu
tiga kekerabatan status dalam dalihan na tolu. Grup biasanya melakukan
tortor satu demi satu, dalam apa yang bisa disebut tortor yang '
urutan '. Sementara satu kelompok menari, kelompok lain biasanya menunggu mereka
gilirannya, berdiri di sekitar arena. Baik penonton dan musisi menjadi
penari ketika giliran mereka untuk melakukan tortor itu, juga, ketika
penonton ingin memainkan instrumen gondang, mereka mungkin bergabung dengan
musisi. Tidak banyak bisa memainkan instrumen sulit seperti sarune yang
dan taganing,, sehingga, mereka yang ingin berpartisipasi biasanya
memilih untuk memutar ogung atau hesek. Garis yang jelas sehingga tidak dapat ditarik
antara musisi, penari dan penonton.

tortor adalah ekspresi spiritual; gerakan tubuh yang dilakukan
bukan demi seni, tetapi sebagai persembahan (pelean) dengan para dewa. Gerak-gerik
dan gerakan tubuh memiliki arti simbolis yang dipahami oleh
peserta. Gerakan-gerakan ini diatur oleh peraturan yang membimbing
perilaku kinerja, yang mengatur pergerakan bagian ofa
panortor's tubuh, terutama mata, tangan, kepala, mulut dan kaki.
panortor harus menari dalam cara yang penuh hormat sehingga upacara
peserta atau penonton (painondur) tidak tersinggung.

Simon telah singkat dieksplorasi sifat sosial dan keagamaan
fungsi gondang sabangunan dan tortor. Dia berpendapat bahwa
pertunjukan musik dan tari memperkuat hubungan kekerabatan dan
lebih lanjut, bahwa dalam praktek keyakinan roh (Tondi kultus), baik gondang
dan tortor berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan religius dan membantu
penari mencapai kepemilikan. Simon mengakui bahwa sifat keyakinan
sistem serta niat batin para penari yang mendasar
dengan proses kepemilikan roh, tetapi ia percaya bahwa
struktur musik gondang, terutama pola irama
ogung ('gong'), sebenarnya mendorong penari untuk mencapai kepemilikan. (22)

Paul B. Pedersen (seorang pendeta Lutheran), mengutip ML Siagian (sebuah HKBP
tua dan ketua komite pengarah untuk seminar 1968 tentang adat,
akan dibahas di bawah) hingga akhir 1967, mengidentifikasi gondang sebagai salah satu
empat contoh konflik antara adat-tradisi sanksi dan
Christian tanggung jawab: "Dalam perayaan panas, disertai dengan
irama hipnotis dari gong gondang, Anda kadang-kadang akan mendengar
nama Allah Tinggi, Ompunta Debata Muladjadi Nabolon. "Seperti nya
abad kesembilan belas misionaris pendahulunya, Gustav Pilgram, yang singkat
tetapi laporan pribadi yang penting menggambarkan penggunaan gondang dan tortor
dalam masyarakat Toba pra-Kristen, Siagian tidak bisa menerima
gondang-tortor's asosiasi tradisional agama meskipun ia
mengakui nilai sosialnya. (23)

Para misionaris takut kekuatan gondang untuk mendorong semangat
kepemilikan dan untuk memikat mengubah kembali ke hasipelebeguan. Oleh karena itu mereka
melarang penggunaan gondang sabangunan dan tortor di antara orang-orang Kristen.
Kasus gondang sabangunan sangat pantas karena, sebagai
catatan Pedersen, secara umum para misionaris dihindari Europeanising
Batak Kristen kecuali dalam bidang musik, di mana mereka diganti
hymnody (salah satu simbol Kristen Barat) dan band kuningan
untuk musik suku tradisional, yang mereka lihat 'musik kafir' sebagai.
(24) Gereja-gereja sehingga berfungsi tidak hanya sebagai pusat praktek orang Kristen
tetapi juga tempat untuk praktek musik Eropa. Jerman himne,
dikompilasi ke dalam buku yang disebut Buku Ende ('Book Song') dan diterjemahkan
ke dalam dialek Batak yang berbeda, telah menjadi konstituen utama
liturgi sejak akhir 1870-an. Jemaat menyanyikan lagu-lagu ini di setiap
Minggu layanan, beberapa dengan iringan organ buluh (Poti
marende) (lit., 'kotak bernyanyi'), yang lain dengan band kuningan. Selain itu,
Pasal X, Nomor 6 Tahun 1907 Orde Disiplin Gereja
dilembagakan oleh RMG, diperlukan bahwa setiap Huria Guru ('pemimpin
jemaat ') harus dapat memainkan Poti marende. Seperti himne,
paduan suara menyanyi dalam pelayanan Minggu menjadi bagian dari liturgi dari
1900S.25 awal Beberapa paduan suara dilakukan karya komposer lokal; lain
dilakukan karya komposer Barat seperti Beethoven, Mozart, Haydn
dan Bach. Diperkuat oleh pelajaran musik Barat di sekolah-sekolah misi,
privileging musik Eropa untuk ibadah menjadi saluran melalui
mana budaya musik Barat bisa disebarkan di seluruh misi
lapangan. (26)

Era Konflik: ladang misi

Sebelum kedatangan Missionsgesellschaft Rheinische dalam
1860, sudah ada beberapa upaya untuk mengkristenkan orang Batak. (27)
VOC (Vereenigte Oost-Indische Compagnie) didirikan seorang Kristen
jemaat di Padang pada awal 1679, tetapi tanpa berusaha
mengkonversi penduduk lokal. kegiatan misionaris sebenarnya dimulai di
abad kesembilan belas. Pada awal 1820 Thomas Stamford Raffles
dasar tiga misionaris dari Misi Baptis Masyarakat
Inggris untuk menginjili di Sumatera. Ketiga misionaris berkumpul di
Tapian na Uli pada tahun 1824, tetapi mereka akan mulai bekerja mereka,
pemerintah kolonial Belanda memaksa mereka untuk pergi. 40 tahun antara
mereka keberangkatan dan kedatangan para misionaris RMG pada 1860-an
melihat sejumlah upaya gagal untuk proselytise Batak Toba.Dua
misionaris yang dikirim oleh Dewan Komisaris Amerika untuk Asing
Misi (ABCFM) dari Boston pada tahun 1834 diduga dimakan oleh lokal
kepala suku dari Lobu merindukan, Raja Pangalamei, dan para pengikutnya, meskipun
klaim ini telah diperdebatkan. Terlepas dari semua upaya ini, awal
misionaris Kristen abad kesembilan belas tidak dapat mencapai mereka
Tujuan konversi sejumlah besar orang.

Dari 1861, empat RMG misionaris mulai proselytise antara Batak
dari Sipirok, sebuah kota kecil yang terletak di Tapanuli Selatan yang penduduknya
baru saja masuk Islam. usaha mereka, bagaimanapun, menghasilkan
hanya dua pembaptisan. (28) Pada tahun 1864 wakil lain RMG, Dr I.
L. Nommensen, mengambil alih kepemimpinan Misi dan pindah nya
markas dari Sipirok ke daerah Silindung, di mana Islam tidak
belum menyebar. Selama tahun pertama karyanya, Nommensen tidak berjuang
hanya untuk proselytise tetapi juga untuk mencari tempat tinggal.Batak dari
lembah Silindung dikandung dari semua mata sibontar disebut
('Putih-mata' atau 'putih-laki-laki') sebagai orang yang yang gagal untuk mengamati atau
mendurhakai adat, dan percaya bahwa adat non-ketaatan dapat menyebabkan
bencana alam seperti wabah, gagal panen atau gempa bumi.(29)

Meskipun keyakinan tersebut, Nommensen dikonversi empat pria, empat wanita dan
lima anak pada tahun 1865. (30) Bersama dengan P. H. (Heinrich) Johannsen,
lain RMG Jerman misionaris yang datang ke lembah Silindung di
1866, Nommensen dikonversi kurang dari seratus orang Batak Toba dalam
berikutnya dua tahun. Dengan demikian, bagaimanapun, ia membawa orang-orang yang
tinggal di lembah Silindung ke dalam konflik sosial satu sama lain,
dan ini secara bertahap berkembang menjadi pelanggaran mendalam tradisional
hubungan sosial, membagi petobat baru dari orang-orang dari mereka
kerabat yang mempertahankan kepercayaan semangat mereka.Dahulu mereka semua
mempraktekkan tradisi kekerabatan yang sama, merayakan ritual yang sama dan
acara keagamaan, menyembah dewa-dewa yang sama, percaya pada yang sama
roh leluhur dan melakukan musik yang sama dan tarian.Sekarang, mereka
yang dikonversi dikeluarkan dari desa mereka dan dari komunal
upacara kurban; kerabat mereka sendiri mengusir mereka dari klan atau
desa agama asosiasi. (31)

Mengubah kehilangan hak mereka untuk memiliki rumah dan sawah di mereka
desa. Nommensen mengumpulkan mereka di sebuah desa kecil bernama pelindung
Huta Dame ('Peace Desa') yang telah menjadi markas besarnya,
mengandung sebuah gereja kecil, gedung sekolah dan beberapa rumah.
Minggu Kongregasional jasa, studi Alkitab dan himne Kristen
digantikan dengan, pengorbanan tua sekarang-forbidden atau ritual lain dan
upacara keagamaan. Namun demikian, Nommensen diizinkan untuk mengkonversi
praktek pernikahan tradisional, untuk memelihara sistem kekerabatan dan perumahan
dan untuk menggunakan bahasa mereka dan skrip tertulis. (32) Jadi mereka tidak
benar-benar kehilangan identitas mereka Toba.

Pada tahun 1992, Andar Lumbantobing, seorang mantan pemimpin GKPI, menelusuri
pertumbuhan Gereja antara 1861 dan 1954 menurut statistik
diberikan dalam der Jahresbericht Rheinische Missionsgesellschaft
(1861-1954), sebagai berikut: (33)

Tabel tersebut menunjukkan bahwa setelah pertumbuhan kecil pada 1860-an ada
dramatis meningkat dari tahun 1870 dan seterusnya. Menurut Clark
Cunningham dan Schreiner, yang mempelajari pertumbuhan konversi setelah
1954, jumlah meningkat menjadi 700.000 dengan 1957 dan untuk 900.000
oleh 1960. Keberhasilan spektakuler RMG setelah Nommensen's awal
kesulitan dan konversi cepat Toba Batak di bawah nya
kepemimpinan telah dicatat dalam literatur: Hendrik Kraemer
menjelaskan sebagai milik 'dengan hasil terbaik misionaris
Kegiatan dalam 'zaman modern. (34)

Kekristenan dan adat: The Order Disiplin Gereja

Selama tahap awal Christianisation, Nommensen belum
memahami seberapa dalam Batak Toba telah berkomitmen untuk adat. (35) Sebagai
disebutkan sebelumnya, adat memberi makna agama untuk kehidupan di
pra-Kristen Batak Toba masyarakat dan diatur mendirikan
sosial-budaya dan agama dalam praktek-praktek yang bersatu dan tak terpisahkan
sistem. Melakukan ibadah ritual leluhur dengan iringan
itu gondang sabangunan itu tidak hanya menjadi amalan utama agama adat,
itu juga cara rakyat mencapai harmoni sosial. The
misionaris, di sisi lain, dipahami adat sebagai dibagi
sistem. Mencoba untuk memisahkan 'adat' 'agama' dari, mereka
dibedakan antara acara-acara sosial (misalnya, pernikahan, pra-pemakaman
upacara serta praktek-praktek warisan) dan acara-acara ritual
melibatkan menyembah roh dan upacara kurban kepada
iringan gondang sabangunan. Yang pertama yang diterima
para misionaris, yang terakhir tidak. Para misionaris 'dakwah
Strategi adalah 'pecah adat' untuk dengan membagi menjadi tiga kategori:
anti-Kristen, netral dan pro-Kristen. (36) Mereka dilarang adat
praktek-praktek yang mereka dicap sebagai anti-Kristen dan mengizinkan mereka
diklasifikasikan dalam dua kategori lainnya.

Para misionaris seharusnya bahwa dengan melembagakan dan menerapkan hukum perdata
mereka akan mampu mengkristenkan unsur-unsur adat dan diterima
Batak Toba secara bersamaan mencegah dari praktek tradisional mereka
agama. (37) Dengan demikian sejak 1866, dua tahun setelah
pembentukan komunitas Kristen pertama di Huta Dame,
misionaris Jerman memperkenalkan larangan mereka dalam bentuk
Orde Disiplin bagi Gereja, dimaksudkan untuk mengatur agama
kehidupan masyarakat. Pada tahun 1867, mereka memperkenalkan apa yang disebut Sipil Hukum
bagi orang Kristen. konten yang tepat nya tidak dapat secara akurat dijelaskan, sebagai
dokumen yang relevan belum ditemukan, namun Schreiner reka
bahwa itu terutama berisi aturan mengenai perkawinan, warisan dan
tindakan disiplin untuk menghukum penjudi dan pencuri. Tidak jelas
apakah 1867 Hukum Perdata resmi termasuk larangan
dari gondang sabangunan dan kinerja tortor, meskipun kita memiliki
bukti bahwa mereka dilarang untuk bertobat pertama. Fakta
tetap, bagaimanapun, bahwa 1867 Hukum Perdata adalah yang pertama
upaya dilembagakan untuk mengkristenkan praktek adat antara
Batak Toba. (38) The 1867 Hukum Perdata direvisi lagi pada tahun 1879 (dalam
hubungannya dengan pemerintah kolonial) dan (dengan Johannsen) pada tahun 1892.

Aturan-aturan ini terlepas, banyak orang Kristen menemukan bahwa mereka
tidak dapat melepaskan keterikatan mereka terhadap praktek-praktek adat pra-Kristen.
Sumber-sumber menunjukkan bahwa beberapa mengkonversi menggunakan gondang sabangunan dan
tortor dalam upacara pra-pemakaman untuk orang tua (Saur matua)
pada 1870-an awal di Kecamatan Toba. Meskipun Nommensen
disiplin orang-orang yang berpartisipasi pada kesempatan ini, praktek
upacara pra-pemakaman dengan gondang sabangunan yang menyertainya dan
tortor tetap utuh di kalangan rakyat. Akibatnya, para misionaris
bersikeras bahwa mengkonversi tidak harus diperbolehkan untuk melakukan pra-pemakaman
upacara berdasarkan adat. Masalah ini menjadi utama
pertimbangan dalam pertemuan misionaris pada 1872, hasilnya adalah
peraturan bahwa orang Christianised tidak diperkenankan untuk berpartisipasi
dalam setiap upacara ritual dengan iringan gondang dan
tortor. (39)

Nommensen dianggap organisasi-organisasi agama tradisional - yang
parbaringin (pemimpin agama lokal) dan bius (lokal
agama-politik unit) - dan praktek-praktek adat seperti bius pesta dengan
gondang sabangunan dan tortor pendampingan, tidak hanya sebagai mengandung
benih-benih konflik sosial, tetapi juga sebagai mengganggu
Christianisation. Dengan demikian, ketika Belanda mengambil alih Silindung
lembah pada tahun 1879, Nommensen membujuk pemerintah kolonial untuk melarang
mereka. Pemerintah kolonial, yang juga melihat bius sebagai
halangan untuk aspirasi politiknya, diberlakukan Hukum Perdata
melarang praktek-praktek tradisional. Hukum diterapkan sama untuk
Christianised orang dan kepada mereka yang tetap semangat keyakinan mereka.
(40) Untuk para misionaris seperti larangan berarti penghancuran
sistem tradisional kepercayaan dan praktik. Untuk kolonial
pemerintah itu berarti kehancuran politik tradisional
organisasi (bius dan parbaringin), sedangkan untuk orang-orang itu mengisyaratkan
hukuman mati kepada agama mereka. (41) Sebagai pemimpin Gereja Nommensen,
yang telah ditunjuk 'Ephorus' (pemimpin Protestan Batak Toba
Gereja) pada 1881, memperpanjang penerapan UU Sipil untuk daerah
luar lembah Silindung. Jadi larangan itu diterapkan di Balige
pada tahun 1890 dan di Pulau Samosir pada tahun 1918. (42)

Sebagai tanggapan, orang-orang yang tetap dikhususkan untuk adat didirikan
organisasi keagamaan-politik untuk menghadapi ekspansi
'Putih-laki' dan mempertahankan praktek-praktek adat, termasuk gondang yang
sabangunan. Yang paling kuat dari organisasi ini adalah Parmalim,
yang didirikan pada 1870-an dan memimpin ke tahun 1880 awal dengan
Guru Somalaing Pardede, seorang Batak Toba dari Balige dan-terkenal
pemimpin agama dan obat-orang yang menolak baik agama Kristen dan
pengaruh kolonialisme. Meskipun Hukum Perdata, anggota
Parmalim terus berlatih seperti upacara kurban tradisional
sebagai pesta bius (dengan iringan dari gondang sabangunan) di
tahun antara tahun 1890 dan 1897. (43)

Pada awal 1890-an organisasi ini religio-politik dibagi menjadi
berbeda sekte: Parmalim, Parsitengka, Nasiakbagi, Sisingamangaraja
dan Parhudamdam. Beberapa sekte syncretically diserap entitas Kristen
seperti Yehuwa, Yesus dan Perawan Maria ke agama mereka
kosakata. Demikian pula, orang lain, terutama Parhudamdam, terintegrasi
beberapa pengaruh Islam. (44) Sementara upaya-upaya untuk melawan kolonialisme dan
kegiatan dakwah dari Gereja Kristen sebagian besar
berhasil, Parmalim bisa bertahan (secara resmi diakui oleh
pemerintah di 1980), dan berhasil dalam melestarikan sebuah pengetahuan
pra-Kristen Toba leluhur praktik dan kepercayaan. Banyak pra-Kristen
aspek kinerja gondang-tortor yang disimpan di
Parmalim itu agama upacara untuk hari ini.

Antara 1896 dan 1897, Dr Johannes Warneck mengusulkan Order umum
Disiplin Gereja, melainkan termasuk sekitar 200 peraturan yang
semua bentuk kinerja gondang sabangunan dan tortor, yang deifying
musisi gondang dan segala jenis praktek Magico-agama
diidentifikasi sebagai pelanggaran serius. Kristen yang melanggar
aturan itu harus dihukum dengan dikecualikan dari Perjamuan Kudus. (45)
Pada waktu yang sama, misionaris Belanda dan memperkenalkan 162
himne Jerman ke jemaat Batak Toba, jumlah itu meningkat menjadi
277 pada tahun 1904. (46)

Pada tahun 1899, seorang Kristen Batak Toba kepala meminta izin untuk melakukan
itu gondang dan tortor pada upacara pra-pemakaman. Setelah misionaris,
Gereja menteri, Kristen Batak Toba kepala dan perwira Belanda
dibahas permintaan, mereka memutuskan untuk tidak menyetujuinya berdasarkan
1897 Orde Disiplin. (47) Dua implikasi dapat disimpulkan
dari ini: pertama, upacara adat dalam komunitas Kristen
tetap penting, terutama dalam upacara pra-pemakaman untuk
orang tua, dan seperti ritual harus disertai dengan gondang yang
sabangunan. Kedua, otoritas Gereja memperkuat mereka
tekad untuk memisahkan orang Christianised dari praktek
tradisi gondang.

Tahun 1907 Aturan ni Ruhut di Angka Huria na di ni Halak tongatonga
Batak (Ordo Disiplin Gereja di antara orang Batak), yang pertama
yang teks bertahan, tidak termasuk referensi atau
penjelasan tentang tortor, gondang sabangunan dan praktek-praktek adat seperti
sebagai bius pesta, untuk alasan yang tidak jelas. Ini terdiri dari 13
bagian, masing-masing dibagi lagi menjadi beberapa pasal.Beberapa bagian
termasuk petunjuk tentang hal-hal seperti bagaimana melakukan Minggu
pelayanan, Perjamuan Kudus, pembaptisan, pengakuan dan konversi serta
bagaimana menjalankan upacara pemakaman. Artikel-artikel diuraikan peraturan tentang
perkawinan, dan menjelaskan bagaimana para guru dan menteri harus bersikap dalam
sekolah dan bagaimana orang Kristen bisa menjadi penginjil.(48)

Menuju Rekonsiliasi: The Toba otonom Gereja Protestan

Kematian Nommensen pada tanggal 23 Mei 1918 dan kekalahan Jerman dalam
Perang Dunia Pertama mempengaruhi kewenangan para misionaris RMG di
Tobaland, khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk menerapkan Hukum Perdata
dan untuk mengkristenkan praktek adat. Kolonial Belanda
pemerintah, yang sudah menolak gagasan bahwa misionaris
harus dilibatkan dalam perumusan undang-undang sipil, telah merevisi
1892 Hukum Perdata tahun 1911, dan 1914 mengurangi lingkup pengaruh
Gereja. Perselisihan antara para misionaris dan kolonial
pemerintah atas revisi UU Sipil terus berlangsung hingga 1923.
(49) Akhirnya penerus Nommensen, Dr Johannes Warneck, mengakui
bahwa mantan Sipil Hukum telah kehilangan kekuatannya.

Peran misionaris berubah dari tahun 1920 dan seterusnya.Tidak lagi melakukannya
misionaris permintaan keterlibatan dalam penulisan Hukum Perdata, atau sebaliknya
berusaha untuk mengatur kehidupan sosial dan keagamaan non-Kristen
Batak Toba masyarakat. (50) Mereka menyerah mengeluarkan larangan dan sanksi
terhadap non-Kristen yang melakukan upacara keagamaan ke
iringan gondang sabangunan dan tortor - seperti yang terlihat dalam
perayaan dari pesta bius di Limbong (sebuah desa di kaki bukit
dari Pusuk Buhit) pada tahun 1923. (51) Sebaliknya, para misionaris
berkonsentrasi pada perumusan Orde sebelumnya Disiplin
Gereja. Versi 1924 (Oehoem Parhoeriaon Siingoton ni Angka Hoeria
Kristen Batak) menegaskan kembali sikap Gereja terhadap praktek-praktek adat
oleh orang Kristen, decreeing bahwa Protestan akan berbuat dosa jika mereka
adalah untuk kembali ke hasipelebeguan dengan melakukan adat pra-Kristen seperti
dan agama praktek sebagai memanggil roh orang yang meninggal,
pemujaan leluhur, membuat persembahan kepada roh leluhur, meminta
berkat dari tortor almarhum atau menari di sekitar mayat atau
tulang yang meninggal dengan iringan gondang tersebut.Mereka juga
menyatakan bahwa Gereja akan menganggap praktek diam-diam
pra-Kristen adat sebagai berdosa. Siapa pun yang ingin mengadakan ritual adat
dengan iringan dari gondang sabangunan dan tortor diperlukan
untuk mendapatkan izin dari Sinode Gereja terlebih dahulu.Mereka yang melanggar
aturan-aturan ini akan disebut melampaui batas (sipinsangon) dan akan
dihukum, misalnya, dengan menjadi dikecualikan dari Perjamuan Kudus atau dari
gerejawi tugas di antara jemaat Gereja. (52)

Sejauh ini Orde Disiplin, yang terakhir ditulis oleh Jerman
misionaris, berhasil menahan Kristen Toba dari melakukan
ritual adat tortor dan gondang-jelas. Ada bukti bahwa
beberapa orang terus melestarikan adat mereka dan musik gondang
tradisi meskipun peraturan ini. Sebagai contoh, didokumentasikan
bahwa dalam 1925-1926 Batak Toba banyak di daerah Toba dan Samosir
gondang dilakukan dan pada tahun 1929 orang di Silindung menyajikan
kerbau dan ulos (selendang upacara) kepada petugas Belanda ke
iringan gondang dan tortor. (53)

Tambahan tekanan untuk perubahan datang dari dalam Gereja
sendiri. Dari 1864 ke 1940, Batak Toba Gereja Protestan - sebelumnya
disebut Huria na Ditonga-Tonga ni Halak Batak (Gereja
Batak) - dioperasikan secara eksklusif di bawah pimpinan Jerman
misionaris, yang dikelola hal yang terkait dengan keuangan, sekolah dan
gereja (termasuk disiplin, musik dan liturgi), dan Sinode
nya pertemuan. Namun, para misionaris tidak bisa menghentikan munculnya
hamajuon ('kemajuan') gerakan pada tahun 1917, dipimpin oleh paduan suara Balige
asosiasi dikenal sebagai Zangyereeniging Hadomuan (Uni Choir), yang
anggota yang sebagian besar guru dan pekerja pada pemerintah
lembaga. Mereka menuntut bahwa Gereja Batak Toba independen
lembaga dibentuk. (54)

Gerakan waktu sekitar 13 tahun untuk mencapai tujuannya: kepemimpinan tidak
ditransfer dari para misionaris kepada para menteri Batak Toba sampai
1930. Mulai saat ini pada, Huria Kristen Batak Protestan - yang baru
nama disetujui pada pertemuan Sinode 1929 - seharusnya menjadi
Gereja otonom, tidak lagi di bawah arahan RMG. Namun,
hal ini tidak terjadi sekaligus. Batak Toba menteri yang bertanggung jawab
kesejahteraan jemaat, menguasai struktur
dewan Gereja dan bahkan mengambil alih administrasi keuangan
lembaga. Meskipun demikian, misionaris Jerman yang masih memegang posisi
otoritas dalam dewan Gereja dan mempertahankan hak veto.(55)
Keputusan yang diambil mencerminkan kelanjutan dari kebijakan misi, meskipun
ada tanda-tanda pelunakan sikap terhadap gondang-tortor.

Pada tahun 1933 beberapa orang Kristen diterapkan pada Sinode Gereja untuk ijin
penggunaan gondang dan tortor dalam pesta adat. (56) Sebagai respon terhadap
banding, Sinode mengeluarkan kebijakan baru di mana dua klasifikasi
pertunjukan gondang yang diperkenalkan: yang dilarang dan
yang diizinkan. Setiap upacara yang berhubungan dengan
pra-Kristen agama praktek, seperti pra-pemakaman dan tulang
penggalian upacara dan jenis ibadah lainnya leluhur, yang
dilarang. Diizinkan upacara termasuk gondang dan tortor
pertunjukan diberikan untuk menghormati orang dihormati atau untuk merayakan
pembangunan rumah baru atau desa atau kelahiran bayi. Ini
disebut gondang Riang-Riang ('pesta gembira'), dan disebut
pertunjukan yang tidak terikat ritual.

Dengan cara ini Sinode mencoba untuk menggeser gondang dan tortor jauh dari
fungsi keagamaan mereka. Namun batas-batas antara dua
klasifikasi - termasuk aturan mereka dan gaya kerja,
struktur dan repertoar - yang jelas. Penari mungkin mengalami
milik di kedua jenis gondang dan oleh karena itu kinerja baik
mungkin membawa peserta ke hasipelebeguan terlarang.Karena
Sinode ini memperingatkan bahwa host gondang Riang-Riang harus
bertanggung jawab atas kinerja menjadi terkait dengan
praktek hasipelebeguan. (57)

Setelah mempelajari laporan umum pertemuan, Sinode 1937 Schreiner
melaporkan bahwa masalah gondang diperkenankan dan dilarang dan tortor
pertunjukan masih menjadi agenda dengan beberapa pendeta Batak Toba
meminta bahwa tidak ada praktik gondang diijinkan, termasuk gondang
Riang-Riang, karena anggota Gereja masih digunakan untuk panggilan gondang
roh orang mati. (58) 1937 Sinode Pertemuan gagal mencapai
keputusan dengan suara bulat pada materi dan masalah tetap belum terpecahkan.
Namun, VE Korn, kepala Belanda provinsi Tapanuli, resmi
mencabut larangan perdata terhadap kinerja gondang pada tahun 1938,
dimana orang-orang Sihotang (sebuah desa di pantai selatan-barat
Danau Toba) dilakukan bius sebuah pesta, yang dihadiri Korn.(59) The
Gereja larangan lanjutan bagi mereka yang sudah menerima kekristenan.

Otonomi datang ke HKBP di saat-saat bersejarah tunggal ketika Belanda
pemerintah kolonial ditahan para misionaris Jerman pada tanggal 10 Mei 1940
konsekuensi dari invasi Nazi Belanda. Benar
kemerdekaan bagi HKBP hanya dicapai pada tahun 1940 setelah pendeta
('Menteri') K. Sirait terpilih menjadi Ephorus Batak Toba pertama.
(60) Ia, bersama dengan menteri lain Batak Toba, menjadi bertanggung jawab
untuk semua hal yang berhubungan dengan Gereja dan jemaat-nya.

Sementara HKBP Toba dipimpin terfokus identitas orang Kristen Batak, itu
tidak pernah mampu menyatukan semua jemaat Batak dan
hancur ke dalam pluralitas gereja etnis. Hal ini sebagian
karena konflik internal yang terjadi pada akhir 1940-an antara
Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak dan
Batak Mandailing jemaat. (The linguistik dan budaya
masyarakat terkait dengan interior Sumatera Utara umum diklasifikasikan
sebagai Batak terdiri dari enam sub-kelompok, di antaranya Toba adalah yang paling
terpadat) Setiap kelompok etnis itu meminta agar diizinkan untuk membangun.
nya organisasi gereja otonom sendiri. Situasi ini rumit
oleh kenyataan bahwa lembaga-lembaga gereja lain dan penginjil (misalnya,
Katolik, Methodist, Pantekosta dan Advent) telah mulai
proselytise di kawasan itu pada awal 1920-an. Kehadiran mereka diminimalkan
kesempatan bagi HKBP untuk memimpin Gereja Batak tunggal.(61)

Transformasi kepemimpinan membawa era baru ke HKBP
jemaat, meskipun tidak langsung. Bahkan setelah menteri Batak Toba
mulai mengelolanya secara mandiri, ketidakharmonisan lanjutan antara
Gereja Protestan dan beberapa tentang adat dan tradisi gondang,
sejak Sinode Gereja mempertahankan sikap yang sama seperti yang dari
mantan misionaris Jerman. (62) Pada tahun 1942 pendeta K. Sirait adalah
digantikan oleh J. Sihombing, yang 20 tahun masa jabatannya menyaksikan satu dekade
kekerasan politik gejolak yang mencakup Pendudukan Jepang,
perjuangan untuk Kemerdekaan Indonesia dan keluar dari misionaris dari
Tanah Batak pada pertengahan 1940-an.

Meskipun demikian, pada saat penerimaan HKBP sebagai anggota
Lutheran World Federation pada tahun 1952, dewan yang telah dirumuskan baru
Orde Disiplin. Ini bergerak menuju akomodasi dari beberapa daerah
praktek-praktek adat, sejauh bahwa Protestan dapat melakukan
pra-pemakaman dan penggalian tulang upacara dengan iringan dari
gondang-tortor tradisi. (63) Hal ini jelas tercatat dalam Bagian
Tiga dari pernyataan, yang berbunyi sebagai berikut:



Dalam upacara pemakaman pra-, peserta tidak harus mengambil bagian dari porsi
daging mentah (jambar) kecuali jika almarhum telah dimakamkan. Ini
dianjurkan bahwa peserta tidak harus menempatkan keranjang (jual)
di samping almarhum. (64) juga tidak boleh peserta tari tortor yang
di sekitar almarhum. Komunikasi dengan roh leluhur,
terutama pada pertemuan tetua keluarga, secara ketat
dilarang. Dalam upacara pemakaman pra-, peserta diperbolehkan
untuk melakukan gondang sabangunan dan tortor hanya jika almarhum telah
punya beberapa cucu. Sebelum kinerja gondang yang
Gereja harus diinformasikan tentang prosedur kinerja. Tuan rumah
juga harus menyatakan bahwa selama kinerja gondang akan ada
tidak ada permintaan untuk berkat-berkat dari almarhum. (65)

Bagian Keempat berkaitan dengan upacara penggalian tulang sebagai berikut:

Gereja memungkinkan kinerja dari upacara penggalian tulang
selama peserta tidak mencakup praktek pagan di dalamnya.
tulang digali harus dikeluarkan langsung dari tanah kuburan tua
ke tempat pemakaman baru disiapkan. Peserta tidak boleh menari
tortor di depan tulang digali kembali atau memberikan persembahan seperti
sirih pinang ke tulang. Semua upacara penggalian tulang harus
dilakukan di bawah pengawasan menteri Gereja. (66)

Bagian Kelima rincian kinerja praktek adat ke
iringan gondang sabangunan dan tortor sebagai berikut:

Hanya kinerja Riang-Riang gondang diperkenankan.
Upacara diiringi oleh gondang untuk tujuan
meminta berkat dari seseorang, almarhum membebaskan dari
kutukan atau kesedihan, atau menelepon untuk [jiwa] hilang Tondi untuk repossess
pembawa tersebut, dilarang keras. Protestan yang ingin
melakukan upacara dengan iringan musik gondang harus
berkonsultasi dengan menteri gereja terlebih dahulu, dan para menteri gereja
akan menilai apakah atau tidak persetujuan akan diberikan.Gereja menteri
akan mengawasi setiap pelaksanaan gondang dalam upacara adat sehingga
tidak ada praktek semangat akan terlibat. Jemaat tidak boleh
sisa-sisa praktek hasipelebeguan. (67)

Tidak jelas apakah Orde 1952 dari Disiplin dicapai
nya tujuan. Namun ini merupakan suatu strategi baru. Ada bukti
bahwa pada tahun 1960 dan awal 1950-an banyak Protestan terus
melakukan praktek-praktek ibadah leluhur untuk alasan kewajiban adat.
Jadi, misalnya, upacara tradisional terjadi pada tahun 1953 yang
didedikasikan untuk pemimpin karismatik Toba terlambat Sisingamangaraja XII,
selama yang tulang, bersama dengan orang-orang dari dua
anak, diambil dari kuburan mereka di Tarutung dan ditempatkan dalam
Monumen yang terletak di Soposurung, Balige. (68) Lampiran rakyat
untuk adat bukan murni merupakan salah satu emosi, melainkan juga politik dan
etnis. Dalam periode pasca-kemerdekaan segera, Indonesia berusaha
untuk menegaskan identitas budaya mereka sendiri sebagai bangsa dengan filsafat
berdasarkan motto "Bhinneka Tunggal Ika '. Dengan demikian pada tahun 1960, Presiden
Sukarno mendekritkan bahwa bangsa harus menolak sesuatu asing dan
kembali ke akar yang beragam etnis dan budaya lokal (Indo.
'Kebudayaan penggaian'), dalam rangka untuk membangun sebuah kombinasi unik
Budaya Indonesia. (69) ini termasuk, dalam pembangkangan paradoks
Gereja kebijakan dan meskipun fakta bahwa Gereja Protestan
adalah salah satu dari 'agama dunia' lima resmi Negara, gedung
monumen leluhur atau Tugu, yang Sukarno disebut makanan sebagai 'untuk
jiwa '. Banyak orang Batak Toba merayakan pembangunan monumen tersebut
dengan pesta keluarga disertai dengan pertunjukan gondang-tortor,
terutama 1960-65 ketika era Sukarno akan segera berakhir.
(70) Ratusan monumen leluhur masih dapat dilihat di sepanjang jalan
antara Pematang Siantar dan Tarutung dan di banyak desa di Samosir
Pulau, beberapa milik keluarga Katolik Toba dan orang lain untuk
Protestan.

Batak Toba pendeta FH Sianipar melaporkan bahwa sementara Gereja
pemimpin dalam banyak hal tidak mendukung panggilan untuk membangun monumen,
ini tidak bisa menghentikan orang dari bangunan mereka. (71) Selain itu,
meskipun Orde 1952 dari Disiplin membuat ruang bagi Protestan untuk
praktik adat pra-Kristen, hal itu tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana
upacara dapat dilakukan dengan iringan musik dan
menari dalam cara yang dapat diterima baik oleh adat dan Gereja.
Oleh karena itu orang-orang dilakukan ritual mereka menurut adatrules, tidak
menurut Orde Disiplin. Orang-orang percaya bahwa untuk
melanggar adat bisa menimbulkan bencana - dan di sini-dan-sekarang agak
daripada akhirat. Tidak mematuhi Ordo Disiplin, di sisi lain
tangan, bisa mendapatkan mereka mendiskreditkan hanya dari Gereja, dan ada
juga merupakan jalan keluar, yaitu mengakui dosa mereka dan bisa diterima kembali ke
jemaat.

Edward M. Bruner, yang mengunjungi Toba di akhir 1950-an dan awal 1960-an,
melaporkan bahwa semua segmen masyarakat Batak Toba - termasuk haji
(Peziarah Muslim), dokter medis, profesor, petani, ahli bahasa,
penyair dan bahkan menteri Kristen - melakukan penggalian tulang
upacara dan perayaan Tugu. Sejumlah besar orang Kristen perkotaan
yang, setelah memperoleh manfaat ekonomi sejak kemerdekaan, kembali ke
desa mereka di Tobaland saat ini, juga membangun monumen marga dan
disponsori upacara penggalian tulang leluhur. Schreiner
menafsirkan fenomena ini sebagai merupakan sebuah gerakan yang terbangun
pra-Kristen praktik keagamaan di kalangan Protestan. (72)

The seminar tentang adat

Sebelum pertemuan Sinode 1966 dari HKBP, beberapa anggota Gereja
melaporkan bahwa banyak Protestan telah melakukan pesta Tugu dan
penggalian upacara dengan iringan dari gondang sabangunan
dan tortor menurut hasipelebeguan. (73) Mereka bersikeras bahwa
Sinode mempertimbangkan kembali jelas pra-Kristen
agama praktek. Sebagai tanggapan, Sinode memutuskan untuk mengadakan seminar
pada adat, untuk mengevaluasi kembali Orde 1952 Disiplin juga
untuk membahas cara-cara untuk mencegah jemaat dari melaksanakan
pra-Kristen agama praktek. Pada bulan Juli 1968 Sinode yang disebut untuk
makalah yang akan disajikan di 'Seminar Adat di HKBP'.Delapan speaker
berbicara pada tujuh topik yang berhubungan dengan praktek adat: pra-pemakaman
upacara, tradisi gondang, warisan, pesta Tugu, yang
upacara penggalian tulang, parjambaran (mengambil bagian dari mentah
daging) dan perayaan untuk bayi baru lahir. Hasil seminar
itu harus dipresentasikan pada pertemuan Sinode pada tahun 1968. (74)

Berbeda pandangan tentang adat dan tradisi gondang-tortor yang
dipresentasikan pada seminar, dan meskipun gagal mencapai bersatu
pandangan adat, hal itu mengakibatkan derajat rekonsiliasi. (75) THE
peserta dalam acara tahun 1968, yang terutama Protestan menteri
dan intelektual, berusaha untuk mengidentifikasi praktek-praktek adat bisa
dan tidak dapat diikuti dengan Protestan. Salah satu pembicara, M. L. Siagian,
berpendapat bahwa Gereja harus mengizinkan jemaat untuk mengundang gondang
musisi untuk bermain dan oleh karena itu untuk menikmati pertunjukan gondang-tortor
di pesta adat, termasuk upacara pra-pemakaman untuk tua
orang. Siagian's pandangan tentang kewajiban adat dan gondang-tortor
kinerja pada pertimbangan Saur matua upacara merit:



Jika Gereja memungkinkan gondang kinerja pada upacara Saur matua,
mengapa harus Gereja melarang orang-orang dari menggunakan jual dan lainnya
bahan simbolik serta menari tortor di dalam upacara itu?
Hal ini dimengerti bahwa sebelum tahun 1950-an Sinode prihatin
dengan pengaruh hasipelebeguan, tapi bagaimana dengan hari-hari ini;
mengapa kita harus takut itu? Mengapa Gereja melarang orang
dari menari tortor di depan almarhum? Jika tortor yang
harus dilarang, apa yang harus diganti untuk itu? Ketika
Order sebelumnya Disiplin Gereja berubah di tahun 1952,
Gereja masih mendiskreditkan tradisi gondang karena banyak yang
sebelumnya digunakan gondang untuk memiliki semangat. Tapi, seharusnya kita tidak
merevisi Orde Disiplin? Mengapa kita tidak bermain gondang the
dalam kesedihan dan kebahagiaan? Kapan musisi berbakat kita mampu
untuk menyesuaikan tortor gondangand dalam praktek-praktek Kristen? (76)

Pembicara lain, BA Simanjuntak, menegaskan bahwa praktek-praktek adat,
termasuk gondang sabangunan, harus dikuduskan sehingga mereka
dapat digunakan dalam praktek orang Kristen. Tradisi gondang harus
dipraktekkan sehingga tidak dilupakan, katanya. Simanjuntak
mengusulkan bahwa tuntutan ditempatkan pada musisi gondang sabangunan di
pesta adat harus hanya untuk menemani peserta tarian
tortor sebagai cara untuk mengungkapkan rasa hormat mereka, kesedihan dan kebahagiaan
umum. Lebih jauh, peserta tidak harus meminta gondang tertentu
potongan untuk menghormati roh leluhur, dan tidak seharusnya mereka ritual mengucapkan
doa untuk membangkitkan roh-roh. Simanjuntak mengakui bahwa sebelumnya
banyak orang menari tortor sementara dirasuki oleh roh, tetapi
berpendapat bahwa kepemilikan semangat seperti itu hampir tidak pernah ditemukan di antara
saat ini orang Kristen. Dia menyarankan bahwa menteri harus Gereja
selalu mengawasi praktek-praktek adat yang melibatkan iringan
gondang sabangunan dan bahwa mereka bisa segera menghentikan
kinerja harus memiliki semangat terjadi. Dia menyimpulkan bahwa, karena
Sinode Protestan telah diizinkan untuk melakukan upacara Saur matua
dengan iringan dari gondang sabangunan, juga harus memungkinkan
peserta untuk menari tortor dalam upacara itu. Simanjuntak
sebaiknya setiap urutan gondang-tortor harus dilakukan untuk
tiga potong saja, yaitu Gondang Somba-sornba tu amanta Debata
('Gondang untuk menghormati ilahi'), Gondang taringot Pangidoan Disiulaon
('Gondang meminta berkat') dan Gondang Hasahatan Sitio-tio
('Gondang untuk menyelesaikan upacara'). (77) Pembicara lain, D. F.
Panjaitan, sepakat bahwa tradisi gondang harus dipelihara oleh
Protestan. Gereja harus, bagaimanapun, menolak setiap gondang
kinerja yang dipimpin oleh datu (seorang dukun profesional
memiliki penyembuhan serta kekuatan magis) dan untuk tujuan
dari hasipelebeguan. (78) Anggota Gereja harus bertindak sesuai dengan
rasa tanggung jawab moral Kristen dan menggunakan gondang untuk
pesta gembira yang mencerminkan seperti rasa tanggung jawab. Adat
upacara dengan gondang dan tortor harus dilakukan siang hari
saja, ia menyarankan. Dalam urutan gondang-tortor, tidak lebih dari tiga
potongan gondang harus diminta, yaitu, Gondang Mula-mula
('Gondang untuk awal'), Gondang Bane-kutukan ('Gondang untuk meminta
berkat dari Allah '), dan Gondang Hasahatan (' Gondang untuk
penyelesaian '). (79)

DP Tampubolon kemudian dipresentasikan makalah tentang praktek
upacara penggalian tulang, mengingatkan mereka yang melakukan
upacara untuk menganggapnya sebagai sebuah acara peringatan daripada tindakan
semangat ibadah. Jika gondang sabangunan dan tortor dilakukan
dalam upacara tersebut, seharusnya dia untuk tujuan memperkuat keluarga
dan hubungan sosial, bukan sebagai alat untuk menghormati leluhur
roh. Kristen harus mulai dan akhir setiap pelaksanaan gondang dengan
doa dan membatasi panjang kinerja untuk satu hari saja. Gereja
menteri harus selalu hadir untuk mengawasi upacara adat sehingga
bahwa tidak ada praktek hasipelebeguan akan terjadi. (80)

Semua peserta menyatakan oposisi terhadap hasipelebeguan tetapi
tanpa menspesifikasikan detail. Meskipun keberatan mereka, namun mereka tidak
tidak sepenuhnya menentang praktek-praktek adat pra-Kristen, melainkan, mereka mencoba
untuk menemukan cara melegitimasi adat sehingga dapat diterima. Beberapa
yakin bahwa praktek-praktek harus Christianised, untuk
Misalnya dengan menghilangkan jejak hasipelebeguan istilah atau doa dan
mengganti ini dengan setara Kristen yang sesuai. Adat
upacara harus diadakan di siang hari dan harus mulai dan berakhir
dengan unsur-unsur Kristen. (81) Jadi pembicara pada seminar tersebut mungkin
dilihat sebagai memiliki maju proses rekonsiliasi dengan mengajukan
bahwa praktek adat (termasuk tradisi gondang-tortor) akan
ditafsirkan kembali dan dengan meminta Sinode Gereja untuk merevisi Ordo 1952
Disiplin.

Rekomendasi dari seminar tersebut mempengaruhi versi 1968,
Urutan Disiplin Gereja, Bagian A, Bagian Kedua berbunyi sebagai berikut:



Kinerja gondang ini hanya diperbolehkan dalam pra-pemakaman
upacara [sarimatua]. Peserta diperbolehkan untuk menari
tortor, namun ondas [penari menari sambil bergerak telapak
tangan mereka atas dan bawah untuk melambangkan meminta berkah dari
yang] almarhum secara ketat dilarang ... [Dan] upacara harus
dibuka dan ditutup dengan doa Kristen. (82)

Bagian selanjutnya menjelaskan beberapa kondisi yang harus dipenuhi
dalam rangka untuk melakukan upacara penggalian, sama kriteria harus
juga akan diterapkan pada perayaan Tugu:

Gereja Protestan akan memungkinkan untuk melaksanakan penggalian dari
tulang upacara dalam kondisi berikut: sebuah kuburan telah rusak
ke bawah; kuburan terlalu dekat dengan tempat tinggal masyarakat; tanah di mana
kuburan ini terletak akan menjadi lokasi industri atau ada
niat untuk menyatukan beberapa makam dari daerah yang berbeda. Dalam
setiap penggalian upacara tulang, menteri Gereja akan bertindak sebagai
supervisor dan akan mencegah peserta dari melaksanakan
hasipelebeguan praktek-praktek, seperti menari ke tulang digali;
penyajian makanan dan sirih ke tulang, menangis ke tulang;
menempatkan digali tulang ke piring, ulos atau keranjang, dan
menempatkan pohon pisang ke dalam lubang dari mana tulang telah
digali. (83)

Bagian B dari pernyataan yang disertakan beberapa resolusi tentang
kinerja gondang sabangunan dan tortor - menetapkan, untuk
Misalnya, bahwa ketika laki-laki dewasa dan host perempuan (suhut) tarian
tortor bersama di pesta adat, mereka hanya harus meminta sampai lima
potongan gondang yang akan dimainkan. Namun, setiap kelompok kerabat harus
permintaan tidak lebih dari tiga buah gondang saat mereka menari tortor yang
bersama-sama, menyampaikan pidato adat atau menerima dan memberi hadiah seremonial.
The gondang sabangunan dapat digunakan untuk mengiringi tortor di
pra-upacara pemakaman, asalkan berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan
kesedihan. Baik penari laki-laki atau perempuan yang diizinkan untuk menempatkan mereka
syal seremonial di kepala mereka, atau untuk melakukan salah gerakan tangan
simbolik komunikasi dengan orang mati. Ketika tulang sedang
digali dalam upacara penggalian tulang, gondang dan tortor
tidak dapat dilakukan. Aturan yang sama berlaku ketika Gereja menteri memimpin
Christian layanan selama upacara. Dalam baik bagian dari
semoga upacara gondang dan tortor dilakukan kecuali saat
siang hari. (84) Pada dasarnya, Orde 1968 Disiplin mempertahankan
status quo. Namun, hal itu berisi beberapa peraturan baru, yang
mencoba untuk mengontrol durasi pertunjukan gondang oleh
membatasi jumlah potongan yang dilakukan. Ini juga dihapus beberapa
mantan pembatasan Protestan berlatih gondang dan tortor
dan pada saat yang sama mempersempit ruang lingkup pembatasan. Ada
juga bukti bahwa dari tahun 1960 seterusnya dan gondang sabangunan
tortor dilakukan pada fungsi Gereja non-liturgi. (85)

Dua tahun setelah Sinode HKBP 1968 dilaksanakan Order nya
Disiplin, GKPI memulai Orde sendiri disebut Disiplin
Hukum Siasat Gereja (dalam bahasa Indonesia) atau Dalan Paminsangon Ruhut
Manogunogu (di Toba Batak). Dalam beberapa hal ini mirip tahun 1968
Versi HKBP dalam hal itu memungkinkan anggota GKPI untuk melakukan
pra-upacara pemakaman dan penggalian di bawah pengawasan
menteri. pernyataan itu bersikeras bahwa menari sebelum digali
tulang sangat dilarang. Itu tidak detail penggunaan
gondang kinerja pra-upacara pemakaman tetapi dilarang
pertunjukan yang terkait dengan praktik-praktik keagamaan pra-Kristen. (86)

Anggota GKPI yang ingin melakukan pesta adat ke
iringan gondang dan tortor diperintahkan untuk mencari
izin dari Gereja. Pada tahun 1977, para menteri dari GKPI tidak
menyetujui sebuah upacara penggalian dengan iringan gondang dan
tortor yang terjadi di Panjaitan, sebuah desa yang terletak di lembah
Sagala. Persetujuan tersebut diberikan setelah pesta pesta-memberikan telah menandatangani
surat promes (surat perjanjian) di depan menteri,
isi yang diterjemahkan George Sherman sebagai berikut:

Aku, yang telah menandatangani di bawah ini, yaitu kepala ini hari raya
gondang membuat segalanya dalam subjek ini berupaya untuk aturan
Gereja Protestan Indonesia (GKPI). Dan aturan-aturan ini adalah sebagai tertulis
di bawah ini.

1. Kami tidak akan melakukan suatu usaha roh-menyembah, seperti
pemurnian [dengan air dari sumber mata air]; pembakaran
dupa; memasang Dracaena, daun jeruk atau gandarusa di atas
, Atau tempat lain pintu.

2. Membuat oblations [dan] persembahan kepada roh nenek moyang akan
tidak terjadi, karena tidak ada [pertemuan menyala. perjanjian [orang mati dan
hidup.

3. Membawa tentang kepemilikan sehingga roh-roh orang mati datang tidak akan
terjadi. Jika seseorang tetap dimiliki, maka orkestra akan
dihentikan dan mereka akan diingatkan, sehingga mereka tidak terus-menerus
mendapatkan dimiliki. [Jika mereka diminta untuk terakhir kalinya] mereka akan dibawa ke
tempat yang lebih terpencil [dipaksa meninggalkan].

4. Mereka tidak bisa bergabung kembali pesta pada setiap saat durasinya.

5. Hanya setelah mereka telah dihapus dapat pesta dilanjutkan [menyala.,
dapat orkestra resume].

6. Jika tidak dilakukan seperti itu, pesta akan dibayarkan tidak lebih
perhatian oleh para pekerja gereja pada kesimpulan. Dan kita yang
kepala sekolah, kita akan dipadamkan, dihukum oleh gereja, jika kita
sengaja terlibat dalam semangat menyembah.

Jadi kita melakukan ini surat janji, sumpah ini-taking, dengan
murni pikiran, di hadapan Tuhan maupun di depan pendeta dari
gereja dari prinsipal. (87)

Pada bulan November 1976 seminar adat diselenggarakan di Universitas Nommensen
di Pematang Siantar. Disponsori oleh Program Regional Asia Indonesia
for Advanced Studies, itu membahas peran tiga tungku '
batu 'dalam mendefinisikan hubungan sosial. (88) Dalam seminar ini,
Anicetus B. Sinaga, seorang imam Katolik, menjelaskan sikap nya
Gereja terhadap adat, menekankan bahwa ia menghormati budaya lokal. Dia
menegaskan bahwa Gereja Katolik Batak Toba diadaptasi dipilih adat
praktek, setelah ditahbiskan mereka, dan menggunakannya sebagai alat untuk menyembah
Allah. (89) Seminar ini tidak berpengaruh pada kebijakan Gereja Protestan,
Namun, aturan dan 1968 tetap tidak berubah.

Pada bulan September 1977 seminar lain adat, dengan sponsor yang sama dan diselenggarakan
di tempat yang sama dengan yang sebelumnya, mendiskusikan kemungkinan
mendirikan liturgi Gereja pribumi. Gagasan seperti mungkin
hasil dari konsep 'inkulturasi' yang dibawa ke
keberadaan dalam Gereja Katolik oleh Konsili Vatikan II.
(Ini adalah kemungkinan bahwa konsep [pempribumian] pempribunian adalah
istilah Protestan setara untuk inkulturasi) Beberapa peserta.
mengusulkan bahwa gondang sabangunan, tortor dan ADA lainnya
telements - misalnya, selendang upacara dan aspek lain dari
kostum tradisional dan lokal terminologi - harus dimasukkan ke dalam
liturgi Gereja sehingga dapat mengambil karakter Batak Toba.
(90) Lain-lain, termasuk anggota Sinode Gereja Protestan, adalah
enggan untuk melakukannya karena mereka percaya bahwa liturgi yang sudah ada untuk
cukup memuaskan, sehingga melihat tidak perlu memasukkan unsur-unsur adat
atau gondang musik. Gereja Protestan prihatin dengan
kemungkinan efek negatif proposal. Sebagaimana dicatat Pardede, 'bagi mereka
[Gereja] kembali ke status asli berarti dalam setiap kasus terbuka
gerbang untuk paganisme '. (91) Sebagai orang yang menentang ide dari indigenising
liturgi masih melebihi jumlah mereka yang mendukung, hal itu belum pernah dilakukan.

Untuk yang terbaik dari pengetahuan saya (sampai hari terakhir saya di lapangan
Medan tahun 1994), tidak ada kinerja gondanghas pernah terjadi sebagai
bagian dari pelayanan gereja Protestan hari Minggu. Tidak ada gereja Protestan yang
pernah mengakuisisi ansambel gondang sabangunan, apalagi sekelompok
gondang musisi. Namun, Gereja terbuka menyambut penggunaan
gondang dan tortor pada fungsi lainnya, seperti ulang tahun gereja
(Pesta years perlu memprogram ulang), acara penggalangan dana (pesta Pembangunan), pemuda
festival (pesta naposo), pendirian gedung gereja baru
(Gareja pajonjong), dan perayaan gereja baru (mangompoi),
yang akan terjadi sekali atau dua kali setahun. Sebuah kinerja gondang di
pesta gereja Protestan melayani berbagai fungsi, terutama diarahkan
terhadap tujuan sosial: memberikan hiburan, menyertai
jemaat tortor kegiatan dan penyajian sumbangan,
menghidupkan suasana di lelang gereja dan membantu fungsi
penggalangan dana dengan mendorong para peserta untuk membuat sumbangan.

Dengan cara ini, kinerja gondang-tortor tradisional telah
dinetralisir. Ketika gondang sabangunan adalah recontextualised dalam
Christian tradisi dengan cara ini, tertentu dari tradisional formalnya
elemen yang tetap sama: instrumentasi, item musik,
yang sebagian besar diambil dari repertoar tradisional, meskipun mereka
menghindari judul menggabungkan nama-nama roh leluhur, suci
tempat dan dewa, dan karunia upacara butir padi,
upacara syal, ternak, uang, makanan dan tenaga kerja, yang sekarang
dilelang pada pesta-pesta gereja untuk mengumpulkan uang.Seperti Maria Steedly telah
tertulis, mengutip kebijakan Gereja pada situasi erat analog di
Gereja Karo Protestan, 'tetap bentuk sama tapi isi
dan niat yang berubah dari apa yang mengandung kepercayaan untuk itu
yang 'netral. (92)

Menurut statistik HKBP, fungsi gereja dalam waktu 74
Tobaland 1985-86 terlibat dalam iringan gondang yang
sabangunan dan tortor. (93) Selama penelitian lapangan saya di Medan pada tahun 1994, semua
fungsi gereja non-liturgi yang saya hadiri disertai oleh
the gondang dan tortor. Memang, gondang sabangunan dan tortor memiliki
menjadi teratur konstituen dari semua fungsi gereja kecuali hari Minggu
layanan. Di sisi lain, Gereja Katolik telah menggunakan
gondang dalam kedua fungsi gereja dan liturgi sejak awal
1980-an. Anggota Gereja Katolik bahkan telah mulai menyusun baru
gondang potongan untuk digunakan dalam ibadah. (94)

The Order sekarang Disiplin dari HKBP ditulis pada tahun 1982 dan
bahwa dari GKPI tahun 1987, masing-masing mempertahankan aturan sebelumnya tetapi membuat
beberapa tambahan poin. Misalnya, melarang HKBP
kinerja dari setiap jenis musik atau tari selain himne Kristen
selama proses atau reburying mengubur mayat, atau menggali
dan mengeluarkan tulang orang yang meninggal. Namun demikian, Gereja
memungkinkan gondang sabangunan dan tortor yang akan dilakukan selama adat
pesta, asalkan berada di bawah pengawasan seorang menteri dan
bahwa pesta diakhiri dengan lagu-lagu Kristen dan doa-doa. Ini adalah
dicatat dalam Orde saat ini Disiplin sebagai berikut:



Godaan, seperti memiliki semangat, mungkin hasil dari melakukan
itu gondang dan, jika itu terjadi, hal ini menunjukkan kelemahan
para pemain 'iman. Gereja menteri harus memberi tahu siapa pun yang
ingin menjadi tuan rumah pertunjukan gondang-tortor sehubungan dengan ini.
Setiap kinerja gondang-tortor harus disimpulkan dalam [Kristen]
doa. (95)

The GKPI juga mensyaratkan bahwa mereka yang berniat untuk melakukan adat
pesta yang berhubungan dengan praktek-praktek tradisional harus meminta Gereja
persetujuan; setiap pesta adat harus dimulai dan diakhiri dengan Kristen
praktek. Order saat Its Disiplin berbunyi sebagai berikut:

Gereja menteri selalu harus menyelidiki / mengawasi kinerja apapun
sebuah upacara ritual. Gereja menteri harus mencegah anggota
jemaat dari melakukan setiap praktek yang berhubungan
dengan paganisme .... Mereka yang ingin melakukan pesta adat yang
terkait dengan tradisi lokal pertama harus memperoleh persetujuan dari
Gereja menteri. Gereja menteri harus membuka dan akhir pesta adat
dengan pelayanan Kristen pendek. (96)

HKBP dan GKPI bersikeras bahwa mereka yang mengabaikan
peraturan dapat dikenai sanksi, dengan suspensi mereka Gereja
keanggotaan, misalnya. Untuk dapat diterima kembali sebagai anggota, setiap
pelanggar harus tender permintaan maaf di depan para menteri dan
jemaat. The Sinode kedua Gereja bersikeras bahwa hukuman akan
hanya dapat dilakukan jika orang yang melampaui batas, setelah telah memperingatkan
oleh para menteri, tidak berniat untuk mengubah sikap mereka.Dalam
wawancara yang dipublikasikan pada tahun 1987, Dr Nababan (pemimpin mantan
HKBP) secara terbuka menyatakan penentangannya terhadap praktek-praktek adat dan agama
gondang kinerja yang terkait dengan panggilan jiwa. Dia menegaskan bahwa:



praktek-praktek adat yang berhubungan dengan animisme harus disesuaikan
ke pesan Injil; gondang harus digunakan hanya untuk
mendampingi orang-orang ketika menari tortor untuk hiburan,
dinyatakan Gereja tidak mengizinkan gondang yang akan dimainkan di gereja
fungsi. Kami [para menteri HKBP] akan menerima adat hanya jika yang
isinya telah sepenuhnya Christianised. (97)

Sebagai pemimpin jemaat Protestan yang besar, Nababan's
merupakan pernyataan sikap HKBP sebagai lembaga sebagai
serta seluruh jemaat. Namun, dalam prakteknya pernyataannya tidak
tidak mencegah Protestan dari adat berlatih di non-agama
pengaturan atau melakukan gondang sabangunan dan tortor dalam rangka
menyembah roh nenek moyang, seperti yang dibuktikan dalam kasus
kontemporer pesta adat yang diambil serius oleh beberapa
kontemporer Protestan Batak Toba. Namun, hal itu juga menunjukkan
fakta bahwa lebih bahkan setelah dari satu abad dialog, kinerja masing-masing
dari gondang sabangunan dan tortor hari ini terjadi dalam
kerangka dialektik diciptakan dari interpretasi peserta
norma menentang adat dan Kristen. Kesimpulan: Menuju
modern era

Gereja Protestan telah berjuang dengan hubungannya dengan adat
(Termasuk gondang dan tortor sebagai simbol musik nya) atas
abad satu-dan-a-setengah perdebatan dan negosiasi, bergerak dari
posisi konflik dan larangan ke titik rekonsiliasi yang
mengakui bahwa jemaat telah dan selalu akan mempraktekkan aspek
adat dan karena itu menampung beberapa praktek adat. Untuk hari ini
dua terbesar Gereja Batak Protestan - HKBP dan GKPI - tetap
pasti tentang sikap mereka terhadap tradisi gondang-tortor. The
Order saat Disiplin tegas melarang modus tradisional
gondang sabangunan kinerja. Namun, Gereja Protestan sekarang
memungkinkan jemaat untuk menggunakan gondang sabangunan dalam upacara-upacara adat,
tunduk pada batasan tertentu dan aturan.

Berbeda dengan Gereja Katolik, Protestan tidak kembali contextualised yang
gondang-tortor tradisi dengan dicantumkannya dalam pelayanan Minggu
liturgi, bukan mempertahankan kebijakan mengutamakan bentuk Eropa
ekspresi musik liturgi dan agama. (98) Melalui Order
dari Disiplin, bagaimanapun, Gereja berusaha menggeser
fungsi dari tradisi gondang-tortor dari satu yang
animisme-agama ke salah satu yang non-agama dan sosial dan
budaya yang berorientasi, dengan memungkinkan penggunaannya dalam perayaan gereja sementara
sekaligus mendorong orang untuk beradaptasi dalam upacara adat
agar sesuai dengan ajaran Kristen.

Karena esensi dari budaya Batak Toba pada awalnya ditemukan
bertentangan dengan Kristen, kontak dengan kedua mengganggu
adat. Dalam rangka proselytise antara orang-orang lokal, misionaris
merasa bahwa mereka diperlukan untuk mengganti adat dengan keyakinan Kristen dan praktek-praktek
serta bentuk-bentuk budaya Barat. Setelah hanya beberapa dekade, Jerman
misionaris bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda dalam
upaya untuk menghilangkan praktek-praktek adat. Jadi, misalnya,
Berbagai Pesanan Disiplin dilembagakan pada periode antara 1866 dan
1940-an jemaat dari dilarang mempekerjakan tortor-gondang
tradisi pada pesta-pesta adat. Bertentangan dengan harapan, larangan tidak
berfungsi untuk menghancurkan adat, hanya menciptakan kekacauan di dalam Protestan
masyarakat dan ketahanan yang dihasilkan antara mereka yang dianut mereka
leluhur keyakinan. Situasi menjadi lebih kompleks untuk
Kristen sebagai misionaris berpendapat bahwa praktek-praktek adat bisa
dibagi menjadi tiga kategori: anti-Kristen, pro-Kristen dan
netral. Walaupun dimaksudkan untuk membantu proses
Christianisation adat, ini divisi tiga bingung
mengkonversi pemahaman terhadap makna dan peran dan mereka
Oleh karena itu terbagi dalam penerimaan mereka terhadap berbagai konsep tentang nya
alam. Hasil dari kebingungan ini dan pemahaman yang terbagi
adat tetap hari ini, warisan misionaris dari tiga kategori
jelas dibedakan dalam Orders 1952, 1968 dan 1987 dari
Disiplin, bahkan ketika disiapkan oleh menteri Toba.

Konflik dan kontradiksi antara sistem kepercayaan mereka tidak tersembunyi
atau diabaikan, memang konflik (konflik) diakui sebagai satu aspek dari
hubungan sosial dalam masyarakat Toba dan biasanya dihadapi secara terbuka. (99)
Jadi, misalnya, ketika konflik terjadi antara Protestan
Gereja (HKBP) dan anggotanya di awal 1960-an yang menyebabkan
calon kontradiksi antara Gereja dan kebijakan pemerintah dengan
mengenai praktek-praktek adat, itu ditujukan pada seminar adat. Tahun 1968
Seminar berhasil mengeluarkan beberapa petunjuk dan peraturan
tentang adat untuk Protestan, tetapi gagal untuk mencapai pandangan yang seragam.

Walaupun Gereja tidak ingin anggotanya berlatih
hasipelebeguan, telah datang untuk mengenali pra-Kristen sosial
tradisi melalui mana orang memperkuat hubungan.
Demikian juga, ketika Batak Toba menteri mengambil alih pemerintahan Gereja
dari misionaris, mereka merasa perlu untuk berlatih adat meskipun
mereka gerejawi tanggung jawab, kalau tidak mereka akan
dikecualikan dari hubungan sosial, dan kebutuhan ini mulai
mempengaruhi kebijakan Gereja dari waktu mereka diasumsikan kepemimpinan. Ketika
menteri host sebuah pesta adat, karena itu mereka kadang-kadang disajikan
gondang-tortor kinerja. Ketika mereka menghadiri pesta adat ke
iringan gondang, mereka juga berpartisipasi dalam tarian
tortor. Sering, ketika mereka mengunjungi sebuah jemaat tertentu selama
fungsi gereja, mereka dihormati dengan kinerja gondang
musik. Menjadi sangat tersanjung, mereka harus menghormatinya, dan tari tortor yang
bersama dengan anggota jemaat, beberapa di antaranya mereka
kerabat. Menteri yang memahami penggunaan gondang dan tortor
dari pengalaman mereka sendiri, sehingga membujuk Gereja Protestan untuk
mentolerir penggunaan tradisi gondang-tortor agar tidak kehilangan
anggotanya.

Hal ini jelas bahwa Gereja tidak setuju dengan ide untuk menggunakan lokal
budaya sebagai alat untuk mengkomunikasikan Injil, peserta di 1977
seminar yang mencoba indigenize liturgi Gereja gagal mencapai
keputusan dengan suara bulat. Namun, dengan memungkinkan gondang-tortor
tradisi suatu tempat di pesta gereja, menteri Protestan telah ditetapkan
sebuah peran baru di samping musik organ listrik, band kuningan dan
menyanyi himne milik liturgi Gereja. Ini terus
ditegaskan dalam pidato yang disampaikan oleh pendeta di pesta. Ketika
gondang dan tortor dilakukan pada non-liturgi Protestan
fungsi, kinerja dan aturan aturan adat lainnya menjadi
tunduk kepada hukum Gereja.

Di luar Gereja, bagaimanapun, ketegangan antara adat dan Kristen
ajaran tetap (untuk Kristen). Mungkin itu akan selalu tetap,
untuk itu ada pada tingkat yang sangat mendalam. Karena moral
tanggung jawab untuk mengikuti Orde Gereja dari Disiplin, hanya sedikit
Protestan-run-gondang tortor pertunjukan di baik adat atau non-adat
pesta sekarang mencakup ritual roh kepemilikan. Pengecualian memang terjadi,
namun. Dalam upacara pra-pemakaman dan upacara penggalian tulang
dengan gondang dan tortor yang saya saksikan di Medan dan Sipaholon di
1994, pemujaan roh leluhur terbuka terjadi, mengakibatkan beberapa
untuk bertanya apakah Gereja Protestan memungkinkan untuk memilih antara mentaati
Orde Disiplin sebagai anggota paroki Kristen dan mengamati
adat mereka kewajiban sebagai anggota klan. Jawaban untuk ini
Pertanyaan masih belum diketahui, namun fakta bahwa Gereja tidak
disiplin mereka yang melakukan penyembahan roh leluhur secara terbuka
menunjukkan bahwa tingkat tinggi pragmatisme sekarang berlaku.

Adat dan budaya Gereja memiliki prinsip-prinsip jelas berbeda dan
tujuan dan namun bagi banyak adat Batak Toba dan Kristen masing-masing
konstituen identitas mereka dan pengaruh sosial dan
agama tinggal di ukuran yang sama. Rasanya tidak mungkin bahwa Gereja akan
pernah sepenuhnya mengendalikan adat, atau sebaliknya. Adat dan ajaran-ajaran Gereja akan
Oleh karena itu terus-menerus harus mencari kompromi kreatif untuk menyelesaikan
ketegangan di antara mereka. Dengan demikian kita dapat berharap bahwa kedua
bertentangan set perilaku sosial dan keagamaan yang diwakili oleh adat
dan Orde Disiplin akan terus mempengaruhi masa depan
tradisi gondang-tortor.

Artikel ini mengacu pada penelitian yang dilakukan di Monash University untuk saya
Ph.D. tesis, 'perubahan Musik dan fungsional dalam gondang sabangunan
tradisi Batak Protestan Toba 1860-1990-an dengan tertentu
mengacu pada 1980-1990-an '(1999). Saya sangat berutang budi
individu yang tak terhitung jumlahnya di Sumatera Utara dan Australia yang murah hati
bantuan membuat penelitian saya mungkin. Saya ingin mengucapkan terima kasih terutama
mereka musisi gondang dan menteri baik Protestan dan
Gereja-Gereja Katolik yang berbagi dengan saya pengetahuan mereka tentang gondang ini
tradisi, dan adat dan Kristen dalam masyarakat Batak Toba.Saya
berterima kasih kepada RM Naipospos, pemimpin masyarakat Parmalim, yang
memungkinkan saya untuk menghadiri upacara Parmalim Sipaha Lima, dari yang saya
banyak belajar tentang sistem pra-Kristen Batak Toba dan keyakinan
kinerja gondang dan tortor dalam konteks agama
upacara. Saya sangat berhutang budi kepada supervisor saya, Margaret Kartomi dari
Sekolah Musik-Konservatorium di Monash, untuk bacaan kritis
artikel ini, saran dan dorongan; Kay Dreyfus di Monash untuk
berharga penelitian dan editorial membantu; Okazaki dan Yoshiko dan Rob
Hodges untuk bacaan sangat membantu mereka kritis terhadap draft.
1) Lorraine Aragon, Fields of the Lord: Animism, Christian
minorities, and state development in Indonesia (Honolulu: University
of Hawai'i Press, 2000), p. 36.

(2) See Mauly Purba, 'Gondang sabangunan among the Protestant Toba
Batak people in the 1990s', Context, 23 (2002): 5-22.

(3) Paul B. Pedersen, Batak blood and Protestant soul: The development
of national Batak churches in North Sumatra (Grand Rapids, Michigan:
Eerdmans, 1970), p. 69; F. H. Sianipar, 'Suatu problem tentang metode
theologia dalam ketegangan yang dialami oleh masyarakat Batak Kristen
masa kini', in Syarat tulisan/ pidato dibacakan Pada Upacara
Pengangkatan Guru Besar dalam Ilmu Theologia Sistematika di Fakultas
Theologia Universitas H.K.B.P. Nommensen Pematang Siantar Pada tanggal
22 Oktober 1973 (Pematang Siantar: Lembaga Penelitian dan Studi,
Universitas H.K.B.P. Nommensen, 1973), p. 8; A. Lumbantobing, Makna
wibawa jabatan dalam Gereja Batak, ed. K. M. Lumbantobing et al.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), p. 79; Lothar Schreiner, Adat dan
injil, tr. P. S. Naipospos et al. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),
p. 11.

(4) According to Pedersen (Batak blood, p. 177), the GKPI has the same
confessional as the HKBP but established its own polity and organisations.

(5) See Almanak Huria Kristen Batak Protestan 1993 (Tarutung: Kantor
Pusat H.K.B.P., 1994), p. 380 and Almanak Gereja Kristen Protestan
Indonesia 1994 (Pematang Siantara: Kantor Pusat G.K.P.I., 1994), p. 521.

(6) Aragon, Fields of the Lord, p. 16.

(7) On the paradoxical outcomes of government policy, see Purba,
'Gondang sabangunan', p. 6 and note 3.

(8) Pedersen, Batak blood, pp. 23, 31.

(9) Ibid., p. 36; the blessings are discussed in Philip O. L. Tobing,
The structure of the Toba-Batak belief in the High God (Amsterdam:
South and South-East Celebes Institute for Culture, 1963), pp. 132-3.

(10) Situmorang, Toba na sae (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993),
further observes that the horja was usually led by clan elders,
sometimes including the datu bolon, a professional medicine-man who is
qualified in magic practices as well as in spirit invocation (p. 114).

(11) Discussion of the term 'bius' as a territory and a communal
sacrificial ceremony can be found in J. C. Vergouwen, The social
organisation and customary law of the Toba-Batak of northern Sumatra,
tr. Jeune Scott-Kemball (The Hague: Martinus Nijhoff, 1964), pp.
88-91; Batara Sangti, 'Hakekat kebaktian di dalam masyarakat Batak',
in Studi pempribumian liturgia dan kebaktian (Pematang Siantar:
Indonesian Regional Asia Program for Advanced Studies, 1977), p. 15;
D. George Sherman, Rice, rupees and ritual: Economy and society among
the Samosir Batak of Sumatra (Stanford: Stanford University Press,
1990), pp. 80-90 and Situmorang, Toba na sae, pp. 56-80. Lance
Castles, 'The political life of a Sumatran Residency: Tapanuli
1915-1940' (Ph.D. diss., Yale University, 1972) refers to the bius as
'the key institution of established paganism' (p. 87).

(12) See, for example, Tobing, Structure of the Toba-Batak belief,
Edward M. Bruner, 'The Toba Batak village', in Local, ethnic, and
national loyalties in village Indonesia: A symposium, ed. G. William
Skinner (New Haven: Yale University Southeast Asia Studies Cultural
Report Series, 1959), pp. 52-64; R. P. Tampubolon, Pustaha tumbaga
holing: Adat Batak-Patik/Uhum (Pematang Siantar, n.p., 1964); N.
Siahaan, Sejarah kebudayaan Batak (Medan: C. V. Napitupulu and Sons,
1964); and Schreiner, Adat dan injil.

(13) Polemical articles that discuss the practice of contemporary adat
can be found, for example, in the monthly magazine Bonapasogit,
published by the Toba Batak community in Jakarta.

(14) Bruner, 'Toba Batak village', p. 55; Situmorang, Toba na sae, pp.
42-5; on the scope of adat see also Schreiner, Adat dan injil, p. 217.

(15) For a complete description of the structure and function of the
instruments of the gondang sabangunan ensemble, see Mauly Purba,
'Gondang sabangunan ensemble music of the Batak Toba people: Musical
instruments, structure, and terminology', Journal of Musicological
Research, 21, 1-2 (2002): 28-45.

(16) Vergouwen, Social organisation, p. 34; cf. Schreiner, Adat dan
injil, p. 46 and Sangti, 'Hakekat kebaktian', pp. 16-18.

(17) Liberty Manik, 'Suku Batak dengan "gondang Batak"nya', Peninjau
[journal published by Lembaga Penelitian dan Studi DGI in Jakarta], 4,
1 (1977): 71-2. All translations are by the author, except where
otherwise stated.

(18) Sitor Situmorang, personal communication; Amani Bunga Sinaga,
interview, October 1994.

(19) Lothar Schreiner, 'Gondang-Musik als Uberlieferungsgestalt
altvolkischer Lebesordnung', Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, 126 (1970): 400-28.

(20) Artur Simon, 'Gondang, gods and ancestors. Religious implications
of Batak ceremonial music', Yearbook of Traditional Music, 25 (1993):
82; Manik, 'Suku Batak', pp. 14, 71.

(21) Ibid., p. 72; Castles, 'Political life', p. 82.

(22) Artur Simon, 'Social and religious functions of Batak ceremonial
music', in Cultures and societies of North Sumatra, ed. Reiner Carle
(Berlin: Dietrich Reimer, 1987), pp. 337-49.

(23) Pedersen, Batak blood, p. 85. Siagian's views will be cited again
later in this article. Although Pilgram could not tolerate
gondang-tortor's association with spirit beliefs, he acknowledged and
approved its social function; in this he disagreed with those who
sought its destruction. See the translation of Pilgram's 1885 paper on
'Referat uber heidnische Musik und Tanz' by Lumbantobing in Parsorion
(riwayat hidup) ni missionar Gustav Pilgram dohot harararat ni
hakristenon di Toba (Pematang Siantar, 1981), pp. 97-108.

(24) Pedersen, Batak blood, pp. 63, 71.

(25) J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993), p. 84.

(26) J. S. Aritonang, Sejarah pendidikan Kristen di Tanah Batak
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), pp. 247-54, 259-60.

(27) For details of these early efforts, see Pedersen, Batak blood,
pp. 47-56.

(28) On these first conversions see Hendrik Kraemer, From missionfield
to independent church. (The Hague: Boekencentrum, 1958), pp. 46-7;
Susan Rodgers, Adat, Islam and Christianity in a Batak homeland
(Athens, OH: Ohio University Southeast Asia Program, 1981), pp. 2-3;
Theodor Muller-Kruger, Sejarah Gereja di Indonesia, 2nd edn (Jakarta:
Badan Penerbit Kristen, 1966), p. 211; and A. Lumbantobing, Makna
wibawa jabatan, p. 69.

(29) Pedersen, Batak blood, pp. 36, 60.

(30) Ibid., p. 61.

(31) Sitor Situmorang, Guru Somalaing dan Modigliani 'Utusan raja
Rom': Sekelumit sejarah lahirnya gerakan ratu adil di Toba (Jakarta:
Penerbit Grafindo Mukti, 1993), p. 45; Lumbantobing, Makna wibawa
jabatan, p. 71.

(32) Pedersen, Batak blood, p. 63; Aritonang, Sejarah pendidikan, pp.
405-39. 33 Aritonang employs the same source for the statistics of the
growth of Christian converts and schools in the Batak Lands (ibid.).

(34) Kraemer, From missionfield, p. 43. Statistics are from Clark E.
Cunningham, The postwar migration of the Toba-Bataks to East Sumatra
(New Haven: Yale Center for Southeast Asian Studies, 1958), p. 178 and
Schreiner, Adat dan injil, p. 9.

(35) N. Arne Bendtz, 'Some reflections about the Batak people and
their beliefs', in Horas H.K.B.P., ed. A. A. Sitompul and A. Sovik
(Pematang Siantar: Sekolah Tinggi Teologia-Huria Kristen Batak
Protestan, 1986), pp. 34-5; Schreiner, Adat dan injil, p. 64.

(36) Ibid., pp. 52-60 and Aritonang, Sejarah pendidikan, p. 439; the
phrase 'rupture adat' is taken from Aragon, Fields of the Lord, p. 160.

(37) Schreiner, Adat dan injil, p. 67 and Aritonang, Sejarah
pendidikan, p. 405.

(38) This information is drawn from the discussion in Hutauruk,
Kemandirian Gereja, pp. 50-6 and Schreiner, Adat dan injil, pp. 63-72.
In 1913, the Dutch officer J. C. Kielstra listed civil laws in his
Beschrijving van het bijzondere Adatrecht van de inheemsche Christenen
in bet Batakland [List of Adat-law for Christian Toba Batak in Batak
Lands] (Schreiner, Adat dan injil, p. 71).

(39) Ibid., pp. 52-3.

(40) See Situmorang, Guru Somalaing, pp. 45, 65. Castles, 'Political
life' says that the Dutch colonial government began to control
Silindung in 1878, about 14 years after the arrival of the German
missionaries in the area (p. 31), but according to Situmorang (p. 66),
it was 1879.

(41) The colonial government's perspective is mentioned in Situmorang,
Guru Sornalaing, p. 45; Tobing, Structure of the Toba-Batak belief, p.
27, discusses the popular perception of the law.

(42) Pedersen, Batak blood, p. 66 (Nommensen as 'Ephorus'); Vergouwen,
Social organisation, pp. 85, 115 (Balige); on Samosir, see N. Siahaan,
Sejarah kebudayaan Batak Medan: C.V. Natipulu and Sons, 1964), p. 43
and Situmorang, Toba na sae, pp. 142-3.

(43) Situmorang, Guru Somalaing, pp. 63, 85, 94.

(44) Ibid., pp. 81, 85 and Castles, 'Political life', pp. 76-9. The
religious practices of those sects influenced by Islam included
frequent trances while reciting Arabic phrases, while in everyday life
they avoided eating pork (Castles, pp. 83-4). Guru Somalaing was
introduced not only to Catholicism but also to Muslim leaders living
on the Asahan River in 1890 by an Italian Catholic botanist, Elio
Modigliani, whom he accompanied on a trip to the Batak Lands (Castles,
p. 74); see also Situmorang, pp. 3-24.

(45) Schreiner, 'Gondang-Musik', p. 296 and Schreiner, Adat dan injil,
p. 76, n 2; the ban is mentioned in Hutauruk, Kemandirian Gereja, p. 52.

(46) Ibid., p. 60.

(47) Schreiner, 'Gondang-Musik', pp. 296-7.

(48) See Aturan ni Ruhut di angka huria na di tongatonga ni Halak
Batak (Nirongkom di Pangarongkoman Mission di Si Antar--Toba, 1907).

(49) Schreiner, Adat dan injil, p. 78.

(50) Schreiner, 'Gondang-Musik', p. 297; Schreiner, Adat dan injil, p. 78.

(51) Situmorang, Toba na sae, p. 142.

(52) Ohoem parhoeriaon siingoton ni angka Hoeria Kristen Batak
([H.K.B.P.] n.p., 1924), pp. 5 (adat practice as sinful), 7 (punishment).

(53) Schreiner, 'Gondang-Musik', p. 298.

(54) Hutauruk, Kemandirian Gereja, pp. 73-87; Aritonang, Sejarah
pendidikan, p. 294. The name 'Huria na ditonga-tongan ni Halak Batak'
appears in the title of the 1907 and 1924 Orders of Disciplitze of the
Church, which were constituted by the Batak Mission.

(55) Johannes Keuning, The Toba Batak, formerly and now, tr. Claire
Holt (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 1958), p. 15. The veto
power is mentioned in Pedersen, Batak blood, p. 98.

(56) Ibid., p. 98.

(57) Ibid., pp. 298-9.

(58) Ibid., p. 299.

(59) Situmorang, Toba na sae, pp. 142-3.

(60) Pedersen, Batak blood, p. 96.

(61) Pedersen (ibid., pp. 201-2) notes that 40 church institutions
were registered by the Department of Religion in Medan in the 1970s.
Unlike in the West, where the divisions among Protestant churches are
8based on religious interpretation (e.g., Methodist, Pentecost and
Lutheran), among the Toba it is only a matter of the language used in
the services. Those that emphasise a sense of ethnicity (such as the
HKBP) use the relevant vernacular, while those that emphasise a sense
of nationalism (such as the GKPI) more often use the Indonesian
language. Most members of the Toba Protestant community belong to one
of these two Churches.

(62) Yoshiko Okazaki, 'Music, identity, and religious change among the
Toba Batak people of North Sumatra' (Ph.D. diss., University of
California, Los Angeles, 1994), pp. 158-9; for the missionaries'
attitude see Schreiner, 'Gondang-Musik', pp. 299-300.

(63) Pedersen, Batak blood, pp. 96-100, 186; see also Cunningham,
Postwar migration, p. 178.

(64) A jual is usually filled with rice-paddy, sanggar (Anthistiria
arguens), ompu-ompu (Haemanthus pubescens) and the leaves of the
hariara tree (Ficus).

(65) Ruhut paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan 1952
(Tarutung: Kantor Pusat H.K.B.P., 1968), p. 13.

(66) Ibid., pp. 13-14.

(67) Ibid., p. 14.

(68) Schreiner, Adat dan injil, p. 182; the family of SiSingamangaraja
XII had in fact been Christianised as early as 1910 (p. 184).

(69) M. P. M. Muskens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia I
(Ende-Flores: Arnoldus Press, 1974), p. 253; Edward M. Brunet,
'Megalith, migration and the segmented self', in Carle, ed., Cultures
and societies, p. 137; on penggaian kebudayaan see Sianipar, 'Suatu
problem', p. 9.

(70) Ibid., pp. 9-10; Bruner, 'Megalith, migration', pp. 137-9.

(71) Sianipar, 'Suatu problem', p. 9.

(72) Schreiner, Adat dan injil, pp. 181-2; Bruner 'Megalith,
migration', p. 137; D. P. Tampubolon, 'Upatjara mangongkal holi di
dalam transisi untuk menjadi suatu manifestasi penghormatan orang tua
yang bersifat komemoratif', Seminar adat di H.K.B.P. (Pematang
Siantar: H.K.B.P., 1968), p. 1.

(73) See M. L. Siagian, 'Sungkun-sungkun marisi saran-saran tu tujuan
ni seminar adat di H.K.B.P.', in Seminar adat.

(74) Ibid. and the speech by Lumban Gaol in the same volume.

(75) J. Pardede, 'The question of Christianity, Islam and Batak
culture in North Sumatra', in Carle, ed., Cultures and societies, p. 245.

(76) Siagian, 'Sungkun-sungkun', p. 2.

(77) B.A. Simanjuntak, 'Hatorangan ni angka atjara na balga na binahen
ni halak Batak pasangap natorasna, ditingki hahipason, parsahiton tuna
marajung ngolu ni natorasna', Seminar adat, pp. 37-9 (consecration),
12 (used, not forgotten), 19 20 (musicians), 38 (specific pieces). For
an explanation of these various elements, see Purba 'Adat ni gondang:
Rules and structure of the gondang performance in pre-Christian Toba
Batak adat practice', Asian Music 34, 1 (2002-3): 67-110.

(78) On the traditional role of the datu in inducing most gondang
sabangunan performances, see ibid., pp. 76-8.

(79) D. F. Panjaitan, 'Gondang', Seminar adat, pp. 9-10.

(80) Tampubolon, 'Upatjara mangongkal holi', Seminar adat, pp. 21-3.

(81) See ibid., Simanjuntak, 'Hatorangan'; Siagian, 'Sungkun-sungkun';
and Panjaitan, 'Gondang'.

(82) See 'Notulen Synode godang H.K.B.P. 3-10 November 1968', in Ruhut
paminsangon, pp. 101-11.

(83) Ibid., pp. 18-19.

(84) Ibid., pp. 27-8.

(85) Panjaitan, 'Gondang', p. 8.

(86) Gereja Kristen Protestan Indonesia, Hukum siasat Gereja (Pematang
Siantar: Kantor Pusat G.K.P.I., 1970), pp. 12-14.

(87) Sherman, Rice, rupees and ritual, Appendix C (p. 331).

(88) See the proceedings of the 1976 Adat Seminar I, including P.
Sormin, 'Fungsi social sihal-sihal berhunbungan dengan dalihan na tolu
dan lima saodoran dalam adat Batak'; G. Sherman, 'Beberapa pencatatan
terlambat untuk seminar adat Batak IRAPAS' and A. B. Sinaga, 'Pola
pemikiran triade dan kwartade pada orang Batak dalam sihal-sihal'.

(89) Ibid., pp. 1-3; cf. Okazaki, 'Music, identity', pp. 183-92.

(90) See the report of the 1977 adat seminar in Lokakarya studi
pempribumian liturgia dan kebaktian (Pemantang Siantar: Indonesia
Regional Asia Program for Advanced Studies, 1977).

(91) Pardede, 'Question of Christianity', p. 248. For a general
summary of the liturgy debate see Pardede, 'Permasalahan sekitar
"pempribumian kabaktian/liturgi", di gereja-gereja di Sumatra Utara',
in Lokakarya studi pempribumian, pp. 1-4.

(92) Mary M. Steedly, Hanging without a rope: Narrative experience in
colonial and postcolonial Karoland (Princeton: Princeton University
Press, 1993), p. 70.

(93) B.A. Simanjuntak, Pemikiran tentang Batak (Medan: Universitas
H.K.B.P. Nommensen, 1986), p. 113.

(94) Okazaki, 'Music, identity', pp. 189-90. Okazaki, who attended a
Catholic music liturgy seminar held in Medan, informed me (personal
communication, September 1996) that the seminar has encouraged
talented musicians to compose new gondang pieces for use in worship.

(95) Ruhut parmahanon dohot paminsangon di Huria Kristen Batak
Protestan (Tarutung: Kantor Pusat H.K.B.P., 1987), p. 27.

(96) Hukum siasat Gereja G.K.P.I. (Pematang Siantar: Kantor Pusat
G.K.P.I., 1982), pp. 20-1.

(97) 'Mengkristenkan yang sudah Kristen', Tempo, 17, 36 (1987): 79.

(98) One should not exaggerate the degree of inculturation that has
taken place; see Purba, 'Gondang sabangunan', p. 11.

(99) H. Basyral Harahap, Orientasi nilai-nilai budaya Batak: Suatu
pendekatan terhadap perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing
(Jakarta: Sanggar Willem Iskandar, 1987), pp. 172-8.