Selasa, 02 Agustus 2011


METAFORA ALLAH MENURUT SALLIE McFAGUE
METAFORA ALLAH MENURUT SALLIE McFAGUE
 DIPANDANG DARI TEOLOGI FEMINIS

I.       Latarbelakang Tokoh Sallie McFague dan Teologinya
Sallie McFague adalah salah seorang teolog ferminis yang lahir pada tanggal 25 Mei 1933 di Quincy Massachussets. Dia merupakan seorang teolog Katolik. Tentang pengalaman studinya, dia menerima gelar B.A dalam bidang literatur di Inggris pada tahun 1955 dari Universitas Smith dan B.D dari Universitas Yale Divinity School pada tahun 1959. Dari Universitas Yale, dia juga menerima gelar M.A pada tahun 1960 dan Ph. D pada tahun 1964. Dia menerima Litt. D dari Smith Collage pada tahun 1977. Dari perjalanan tersebut, tampak bahwa semula ia tertarik pada bidang literatur. Apabila Paul Tillich dikenal sebagai pemikir yang mempertemukan teologi dan literatur. Karyanya dimulai dengan isu perkembangan bahasa teologi, berlanjut pada perkembangan dan analisa kontemporer metafora Allah. Dia mengambil satu bagian dari Metafora yaitu ‘dunia sebagai tubuh Allah’ dan mengembangkannya secara teologis.
Menurutnya Allah tidak pernah dan tidak akan dapat ditangkap oleh bahasa. Bahasa manusia tidak dapat mengungkapkan dan menjelaskan tentang Allah. Yang dapa dilakukan hanyalah berbicara tentang Allah. Allah berada di luar batas bahasa. Maka cara terbaik berbicara tentang Allah adalah melalui metafora Allah.[1]  Metafora adalah suatu kiasan, sesuatu yang adalah seperti sesuatu yang lain. Alkitab seringkali menggunakan gaya bahasa metafora untuk menjelaskan kenyataan Allah. Relasi Allah dengan umatNya digambarkan oleh macam-macam metafora, ada yang bersifat imperasional (Allah adalah terang atau batu karang), ada juga yang bersifat personal (Bapa: Yeremia 3:19; Ibu: Ulangan 32:18; Suami: Hosea 2:15).[2] Metafora yang paling bisa untuk Allah adalah “Bapa”. Tetapi metafora ini tidak mengandung suatu konsep bulat mengenai Allah. Metafora bersifat terbuka sehingga apabila suatu metafora dirasa tidak mampu menjawab persoalan yang ada, maka metafora tersebut bisa dirubah atau bahkan tidak dipakai lagi. Metafora Allah sebagai Bapa telah menjadi suatu idol sehingga seolah-olah merupakan kebenaran sejati. Sallie mencatat bahwa setiap metafora untuk menggambarkan Allah harus memiliki dua hal. Pertama, setiap metafora harus mengandung kekayaan dan kompleksitas dalam hubungan Allah dengan manusia (jika tidak ada, hasilnya idol). Kedua, setiap metafora harus dapat menjawab persoalan-persoalan atau kejanggalan-kejanggalan yang ada (jika tidak, ketidakrelevanlah yang muncul). Dalam konsep Allah sebagai bapak, terdapat kedua kelemahan tersebut yaitu idol dan ketidakrelevanan.
Sampai berabad-abad dalam sejarah gereja Kristen, sikap patriakhal itu tetap kuat dan tidak dipermasalahkan. Baru sejak tahun 70-an, kaum teolog feminis mempermasalahkan sikap patriakhal itu, baik dalam Alkitab ataupun dalam ajaran gereja. Teolog feminis mengusahakan kebebasan dari dominasi kaum pria untuk berkesempatan berteologi dalam konteks wanita. Mereka mengkritik bahwa metafora-metafora patriakhal tersebut menyempitkan gambaran Allah. Usaha itu dilakukan dengan menafsirkan kembali nas-nas tertentu, sehingga dapat ditemukan keseimbangan suara Alkitabiah yang juga berbunyi feminin. Kaum feminis menganggap bahwa metafora ini sangat mendominasi, sehingga mengenyampingkan metafora-metafora yang lain. Oleh sebab itulah dalam penelitiannya di bidang metafora, ia menawarkan Metafora lain yaitu Allah sebagai ibu, Allah sebagai kekasih, Allah sebagai teman dan dunia sebagai tubuh Allah.[3]

II.          Pandangan dan Metode Teologia

2.1.  Metafora Allah sebagai Ibu
Metafora Allah sebagai bapak telah menjadi idol bagi umat Kristiani khususnya, sehingga metafora itu dianggap sebagai satu-satunya cara atau gambaran untuk menjelaskan Allah. Dengan demikian gambaran-gambaran lain dikesampaingkan. Menusia terdiri dari laki-laki dan peremapuan. Apabila gambaran laki-laki digunakan untuk menggambarkan Allah, maka sudah seharusnya gambaran perempuan juga dipakai. Baik laki-laki dan perempuan harus digunakan untuk menggambarkan Allah, karena manusia adalah ‘Imago Dei ’. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan sama. Konsep Allah sebagai ibu bertujuan untuk menyeimbangkan konsep yang ada selama ini telah berkembang, yaitu ‘Allah sebagai laki-laki’. Tradisi Kristen telah terbiasa dengan gambaran peternal. Dalam konsep Allah sebagai Bapa, terdapat pemahaman tentang pengampunan dosa. Dalam konsep Allah sebagai ibu tedapat pemahaman tentang pemberian hidup.[4]
Konsep Allah sebagai ibu menghadirkan kasih agape yaitu pemberian hidup pada keseluruhan dna penyatuan kembali dengan segenap kehidupan. Kasih agape adalah kasih yang tidak memihak. Dari kasih yang tidak memihak ini, Allah dapat melupakan dosa menusia kemudia menyayangi mereka. Allah sebagi sumber hidup dapat digambarkan dalam gambaran ibu dan bapak. Kasih orangtua adalah kekuatan dna pengalaman paling intim yang dimiliki manusia. Kasih orangtua adalah gambaran yang terbaik yang dapat menggambarkan kasih Allah pada manusia. Dari pengalaman keluarga ini, kelihatan bahwa Allah tidak hanya bersifat paternal dengan diri autoritas yang menuntut ketertiban serta ketaatan dan mengahakimi orang yang berdosa. Allah bersifat maternal, karena Dia umatNya tanpa syarat. Dia tetap setia dan rela mengorbankan diriNya untuk keselamatan umatNya. Fungsi paternal dan maternal disatukan di dalam-Nya.[5]

2.2. Metafora Allah sebagai Kekasih [6]
Kata “Cinta” adalah suatu istilah dalam tradisi Kristen yang dapat digunakan untuk mengungkapkan Allah secara total. Allah adalah cinta, tetapi tradisi kekristenan secara hati-hati menolak bahwa cinta adalah Allah. Oleh karena itu, Allah menjadi contoh cinta. Allah adalah metafora cinta. Cinta Allah terwujud dalam diri Yesus dari Nazareth. Pengajran-Nya, mukjizat-mukjizat-Nya, kematianNya dan kebangkitanNya merupakan wahyu cinta Allah pada manusia. Cinta Allah itu adalah kasih agape yang memberi secara total, tanpa mengharapkan balasan dari yang dicinta. Tradisi Kristen juga takut menggunakan kaa benda “kekasih”. Orang Kristen tidak membicarakan Allah sebagai kekasih. Dalam istilah “kekasih” terkandung sisi erotisme, tapi menurut Sallie masalah itu tidak perlu untuk dipersoalkan. Metafora itu dapat dikurangi atau dibatasi pada erotisme. Kasih Allah seharusnya secar total tidak berisis kebutuhan atau ketertarikan, hasrat atau keinginan. Dengan kata lain, kasih seharusnya secara total tidak beralasan, ketidatertarikan dan tanpa nafsu.
Manusia tidak pernah meresa lebih baik daripada ketika ada dalam cinta yaitu ketika manusia mencintai dan dicintai. Yang menjadi pokok dalam cinta bukanlah nafsu atau birahi, sex atau keinginan (walaupun ini merupakan ekspresi dari hubungan cinta manusia). Intinya adalah nilai atau keberhargaan sesuatu. Cinta menemukan bahwa seseorang itu berharga bagi yang lain. Alasan itupun terkadang berada pada urutan terakhir atau behkan tidak ditemukan. Alasan-alasan untuk mencinta bukanlah ukuran cinta. Kekasih mencintai yang dicintanya tanpa alasan atau di atas semua alasan. Seseorang itu berharga baginya hanya karena orang yang dicintanya itu adalah ia adanya, “saya mencintaimu hanya karena kamu adalah kamu”.
            Dalam katakutan kaena hukuamn bagi dosa-dosa dan dalam pembebasan serta dalam ucapan syukur atas pengampunan, terkandung cinta Tuhan. Allah mencinta demi diri-Nya sendiri, karena Allah adalah Allah. Cinta-Nya itu, di atas semua pengetahuan dan imaginasi, manusia akan disatukan secara permanen dan secara total dengan Allah. Di dalam-Nya, manusia menemukan yang paling berharga, yang kepadaNya menusia mencinta di atas segalanya. Matefora ‘kekasih’ ini dapat dilihat dalam konteks ‘dunia sebagai kekasih Allah’. Apabila sang kekasih adalah Allah dan yang dicinta adalah dunia (lebih daripada individual) maka aspek individual, dualistik dan aspek-aspek duniawi lainnya dihapuskan. Allah sebagai kekasih tidak mencintai secara individual tetapi secara keseluruhan yaitu seluruh ciptaan. Dan sebaliknya, manusia seharusnya tidak mencintai Allah secara per orang dalam hubungan yang vertikal antara pecinta kepada yang dicinta. Manusia mencintai dunia secara keseluruhan sebagai tubuh Allah. Yang dicinta tidak dapat hanya Allah sendiri, tapi juga dunia yang merupakan ekspresi Allah dan yang Allah cintai. Allah sebagai kekasih adalah seseorang yang mencintai dunia bukan dengan ujung jari, tetapi secara total. Allah sebagai kekasih, mempunyai hasrat untuk bersatu dengan semua yang dicintai.

2.3. Metafora Allah sebagai teman
Hubungan teman tidak seperti hubungan ibu dan kekasih. Bisa dikatakan bahwa hubungan ini adalah hubungan yang sepele atau bahkan tidak dipertimbangkan. C. S. Lewis seperti yang dikutip oleh Sallie mengatakan bahwa manusia dapat hidup dan makan tanpa teman. Sehingga teman sama sekali merupakan hubungan yang tidak penting. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Bonhoeffer yang mengatakan bahwa persahabatan lahir dalam kemerdekaan. Persahabatan merupakan harta yang paling jarang dan paling tidak bernilai. Kualitas lain yang penting dalam hubungan ini adalah kebebasan. Persahabatan merupakan ikatan dua orang dengan suara yang bebas dalam suatu hubungan yang timbal balik. Walaupun diakui ada persahabatan yang hanya dari satu pihak, tetapi dalam hal ini hubungan timbal baliklah yang disoroti. Secara mendasar, seseorang memilih untuk berteman dengan orang lain, karena orang tersebut suka dengan dia dan mau menjadi teman baginya. Seperti  yang ditulis oleh Kant, persahabatan dibentuk oleh kasih sayang dan respek persahabatan yang utama yaitu sukacita. Ketertarikan yang bebas dua orang teman yaitu ‘orang yang engkau suka dan orang yang suka padamu’.
            Anak-anak biasanya mengenal teman dengan sendirinya. Bagi mereka, teman adalah seorang yang senang dan mau bermain dengannya serta seseorang yang bisa dipercaya. Dalam hubungan ini, ada rasa ketertarikan, sukacita, kebebasan dan kepercayaan. Persahabatan, bebas dari masalah-masalah pokok yang biasanya ada pada ‘cinta’ seperti rasa takut, cemburu. Aristoteles mengatakan bahwa persahabatan bukan cinta pada yang lain tetapi cinta pada diri sendiri. Kesetiaan adalah karakter utama dalam persahabatan. Perjanjian Yahwe dengan Israel merupakan suatu komitmen menjadi teman. Sedangkan persahabatan Allah dengan manusia pada zaman ini, dapat dilihat pada peristiwa penyelamatan. Persahabatan antara Allah dengan manusia bukan antara dua orang yang saling berhadapan, tetapi dua orang yang sama-sama berhadapan dengan suatu visi. Setiap orang bebas memilih untuk menyatu atau keluar dari sukacita dalam Allah. Persahabatan didasarkan pada kenyataan dan komitmen. Kesalahan yang paling besar dalam persahabatan adalah penghianatan. [7]

2.4. Dunia sebagai Tubuh Allah
Tradisi Kristen memandang bahwa manusia hidup dan bergerak dalam Tuhan. Manusia melihat dirinya dan yang lainnya sebagai tubuh Allah. Kemuliaan dan transendensi Allah terdapat pada langit dan juataan galaksi, bumi dan segala isinya. Sehingga Allah tidak terbatas pada daging. Dalam diri Allah tidak hanya ada kemuliaan tetapi juga ada rasa kasihan, kerena tubuh juga dipenuhi dengan rasa sakit. Apabila Allah terwujud dalam tubuh maka tubuh menjadi sesuatu yang khusus. Konsep dunia sebagai tubuh Allah menggabungkan sisi kemuliaan dan rasa sakit yang dirasakan sebagai manusia. Allah yang adalah Raja dari Kerajaan yang jauh, bukanlah berarti trasenden. Allah yang adalah Raja, suatu waktu masuk ke dunia dalam wujud manusia, inipun bukan berarti imanen. Metafora dunia sebagai tubuh Allah merupakan suatu cara mengungkapkan transendensi dan imanensi Allah. Dalam konsep ini, ada undangan untuk melihat Pencipta dalam ciptaan. Segala sesuatu bisa dipakai menjadi gambaran Allah, karena tidak satupun adalah Allah. Tubuh Allah bukanlah tubuh manusia atau tubuh lainnya. Tetapi seluruh tubuh adalah refleksi Allah.
Dalam konsep ini, tidak berarti bahwa ciptaan diidentikkan dengan Allah, tetapi dunia sebagai tempat dimana Allah hadir pada manusia. Keprecayaan tradisional dalam Chalcedon mengatakan bahwa Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Alkitab mengatakan bahwa Allah terbatas pada tubuh manusia. Pada satu sisi, metafora ini merenungkan kemuliaan ciptaan Allah. Di sisi lain, konsep ini mengandung rasa kasihan dan pelayanan melalui penderitaan yang ada di muka bumi. Dalam metafora ini, manusia tidak berarti telah melihat Allah secara tatap muka. Pertemuan dengan Allah hanya dapat dilakukan dengan memberi perhatian, mendengar, belajar untuk mencintai dan memperhatikan. Metafora ini tidak menetang transendensi Allah. Pemahaman Kristiani selama ini, dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles yang menyatakan jauhnya Allah dari dunia ini. Pemahaman itu sendiri bukan berasal dari akar kekeristenan. Dalam pemahaman Kristen-Yahudi, ketinggian Allah itu berada dekat yaitu dalam hubungan perjanjian-Nya dengan umat yang terpilih. [8]

III.  Kesimpulan
Ketika berdoa, setiap orang mengalamatkan doanya pada Tuhan, bukan menggambarkan tentang Tuhan. Oleh sebab itu, ketika dalam doa ditambahakan kata-kata benda seperti “Bapa”, semata-mata adalah untuk mengalamatkan doa itu pada Tuhan, bukan mendefenisikan diri Tuhan sebagai bapa (maskulin). Panggilan ataupun metafora itu, berdasarkan pada pengalaman spiritual setiap orang. Apabila dengan metafora itu, seseorang mampu lebih mengharmoniskan hubungannya dengan Tuhan, maka tidaklah salah kalau metafora itu digunakan. Tapi metafora-metafora itupun bukanlah sesuatu yang mutlak. Setiap orang bebas dalam memakai atau tidak menggunakan metafora-metafora tersebut, karena metafora ini juga adalah bagian dari bentuk pendekatan  setiap orang untuk mengenal Allah. Pandangan ini jelas memperlihatkan bahwa Allah itu tidak dapat kita defenisikan dan dihubungkan dengan jenis kelamin. Dengan mendefinisikan Allah dengan jenis kelamin berarti kita juga mencoba membatasi Allah yang tidak terbatas itu.

IV. Saran
1.      Supaya perempuan dan laki-laki mendapat penghargaan yang sama.
2.      Gereja dan orang percaya menegakkan keadilan dan kebebasan yang sama antara laki-laki dan perempuan.


Kepustakaan

McFague, Sallie                      Models Of God,  Philadelphia: Fortress Press
1998
McFague, Sallie                      The Body of God, Philadelphia: Fortress Press
1993   
Hommes, Anne                       Perubahan Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja
1992                                        dan Masyarakat, Jakarta: BPK-Gunung Mulia



[1] Sallie McFague, Models Of God, (Philadelphia: Fortress Press, 1998) hlm 98
[2] Bnd. Anne Hommes, Perubahan Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1992) hlm 50-63
[3] Sallie McFague, Op. Cit. hlm 98
[4] Ibid,  hlm 101
[5] Anne Hommes, Op. Cit. hlm55
[6] Sallie McFague, Op. Cit. hlm 125,130
[7] Ibid,  hlm 157,159
[8] Sallie McFague, The Body of God. (Philadelphia: Fortress Press, 1933) hlm 131-136 DIPANDANG DARI TEOLOGI FEMINIS

I.       Latarbelakang Tokoh Sallie McFague dan Teologinya
Sallie McFague adalah salah seorang teolog ferminis yang lahir pada tanggal 25 Mei 1933 di Quincy Massachussets. Dia merupakan seorang teolog Katolik. Tentang pengalaman studinya, dia menerima gelar B.A dalam bidang literatur di Inggris pada tahun 1955 dari Universitas Smith dan B.D dari Universitas Yale Divinity School pada tahun 1959. Dari Universitas Yale, dia juga menerima gelar M.A pada tahun 1960 dan Ph. D pada tahun 1964. Dia menerima Litt. D dari Smith Collage pada tahun 1977. Dari perjalanan tersebut, tampak bahwa semula ia tertarik pada bidang literatur. Apabila Paul Tillich dikenal sebagai pemikir yang mempertemukan teologi dan literatur. Karyanya dimulai dengan isu perkembangan bahasa teologi, berlanjut pada perkembangan dan analisa kontemporer metafora Allah. Dia mengambil satu bagian dari Metafora yaitu ‘dunia sebagai tubuh Allah’ dan mengembangkannya secara teologis.
Menurutnya Allah tidak pernah dan tidak akan dapat ditangkap oleh bahasa. Bahasa manusia tidak dapat mengungkapkan dan menjelaskan tentang Allah. Yang dapa dilakukan hanyalah berbicara tentang Allah. Allah berada di luar batas bahasa. Maka cara terbaik berbicara tentang Allah adalah melalui metafora Allah.[1]  Metafora adalah suatu kiasan, sesuatu yang adalah seperti sesuatu yang lain. Alkitab seringkali menggunakan gaya bahasa metafora untuk menjelaskan kenyataan Allah. Relasi Allah dengan umatNya digambarkan oleh macam-macam metafora, ada yang bersifat imperasional (Allah adalah terang atau batu karang), ada juga yang bersifat personal (Bapa: Yeremia 3:19; Ibu: Ulangan 32:18; Suami: Hosea 2:15).[2] Metafora yang paling bisa untuk Allah adalah “Bapa”. Tetapi metafora ini tidak mengandung suatu konsep bulat mengenai Allah. Metafora bersifat terbuka sehingga apabila suatu metafora dirasa tidak mampu menjawab persoalan yang ada, maka metafora tersebut bisa dirubah atau bahkan tidak dipakai lagi. Metafora Allah sebagai Bapa telah menjadi suatu idol sehingga seolah-olah merupakan kebenaran sejati. Sallie mencatat bahwa setiap metafora untuk menggambarkan Allah harus memiliki dua hal. Pertama, setiap metafora harus mengandung kekayaan dan kompleksitas dalam hubungan Allah dengan manusia (jika tidak ada, hasilnya idol). Kedua, setiap metafora harus dapat menjawab persoalan-persoalan atau kejanggalan-kejanggalan yang ada (jika tidak, ketidakrelevanlah yang muncul). Dalam konsep Allah sebagai bapak, terdapat kedua kelemahan tersebut yaitu idol dan ketidakrelevanan.
Sampai berabad-abad dalam sejarah gereja Kristen, sikap patriakhal itu tetap kuat dan tidak dipermasalahkan. Baru sejak tahun 70-an, kaum teolog feminis mempermasalahkan sikap patriakhal itu, baik dalam Alkitab ataupun dalam ajaran gereja. Teolog feminis mengusahakan kebebasan dari dominasi kaum pria untuk berkesempatan berteologi dalam konteks wanita. Mereka mengkritik bahwa metafora-metafora patriakhal tersebut menyempitkan gambaran Allah. Usaha itu dilakukan dengan menafsirkan kembali nas-nas tertentu, sehingga dapat ditemukan keseimbangan suara Alkitabiah yang juga berbunyi feminin. Kaum feminis menganggap bahwa metafora ini sangat mendominasi, sehingga mengenyampingkan metafora-metafora yang lain. Oleh sebab itulah dalam penelitiannya di bidang metafora, ia menawarkan Metafora lain yaitu Allah sebagai ibu, Allah sebagai kekasih, Allah sebagai teman dan dunia sebagai tubuh Allah.[3]

II.          Pandangan dan Metode Teologia

2.1.  Metafora Allah sebagai Ibu
Metafora Allah sebagai bapak telah menjadi idol bagi umat Kristiani khususnya, sehingga metafora itu dianggap sebagai satu-satunya cara atau gambaran untuk menjelaskan Allah. Dengan demikian gambaran-gambaran lain dikesampaingkan. Menusia terdiri dari laki-laki dan peremapuan. Apabila gambaran laki-laki digunakan untuk menggambarkan Allah, maka sudah seharusnya gambaran perempuan juga dipakai. Baik laki-laki dan perempuan harus digunakan untuk menggambarkan Allah, karena manusia adalah ‘Imago Dei ’. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan sama. Konsep Allah sebagai ibu bertujuan untuk menyeimbangkan konsep yang ada selama ini telah berkembang, yaitu ‘Allah sebagai laki-laki’. Tradisi Kristen telah terbiasa dengan gambaran peternal. Dalam konsep Allah sebagai Bapa, terdapat pemahaman tentang pengampunan dosa. Dalam konsep Allah sebagai ibu tedapat pemahaman tentang pemberian hidup.[4]
Konsep Allah sebagai ibu menghadirkan kasih agape yaitu pemberian hidup pada keseluruhan dna penyatuan kembali dengan segenap kehidupan. Kasih agape adalah kasih yang tidak memihak. Dari kasih yang tidak memihak ini, Allah dapat melupakan dosa menusia kemudia menyayangi mereka. Allah sebagi sumber hidup dapat digambarkan dalam gambaran ibu dan bapak. Kasih orangtua adalah kekuatan dna pengalaman paling intim yang dimiliki manusia. Kasih orangtua adalah gambaran yang terbaik yang dapat menggambarkan kasih Allah pada manusia. Dari pengalaman keluarga ini, kelihatan bahwa Allah tidak hanya bersifat paternal dengan diri autoritas yang menuntut ketertiban serta ketaatan dan mengahakimi orang yang berdosa. Allah bersifat maternal, karena Dia umatNya tanpa syarat. Dia tetap setia dan rela mengorbankan diriNya untuk keselamatan umatNya. Fungsi paternal dan maternal disatukan di dalam-Nya.[5]

2.2. Metafora Allah sebagai Kekasih [6]
Kata “Cinta” adalah suatu istilah dalam tradisi Kristen yang dapat digunakan untuk mengungkapkan Allah secara total. Allah adalah cinta, tetapi tradisi kekristenan secara hati-hati menolak bahwa cinta adalah Allah. Oleh karena itu, Allah menjadi contoh cinta. Allah adalah metafora cinta. Cinta Allah terwujud dalam diri Yesus dari Nazareth. Pengajran-Nya, mukjizat-mukjizat-Nya, kematianNya dan kebangkitanNya merupakan wahyu cinta Allah pada manusia. Cinta Allah itu adalah kasih agape yang memberi secara total, tanpa mengharapkan balasan dari yang dicinta. Tradisi Kristen juga takut menggunakan kaa benda “kekasih”. Orang Kristen tidak membicarakan Allah sebagai kekasih. Dalam istilah “kekasih” terkandung sisi erotisme, tapi menurut Sallie masalah itu tidak perlu untuk dipersoalkan. Metafora itu dapat dikurangi atau dibatasi pada erotisme. Kasih Allah seharusnya secar total tidak berisis kebutuhan atau ketertarikan, hasrat atau keinginan. Dengan kata lain, kasih seharusnya secara total tidak beralasan, ketidatertarikan dan tanpa nafsu.
Manusia tidak pernah meresa lebih baik daripada ketika ada dalam cinta yaitu ketika manusia mencintai dan dicintai. Yang menjadi pokok dalam cinta bukanlah nafsu atau birahi, sex atau keinginan (walaupun ini merupakan ekspresi dari hubungan cinta manusia). Intinya adalah nilai atau keberhargaan sesuatu. Cinta menemukan bahwa seseorang itu berharga bagi yang lain. Alasan itupun terkadang berada pada urutan terakhir atau behkan tidak ditemukan. Alasan-alasan untuk mencinta bukanlah ukuran cinta. Kekasih mencintai yang dicintanya tanpa alasan atau di atas semua alasan. Seseorang itu berharga baginya hanya karena orang yang dicintanya itu adalah ia adanya, “saya mencintaimu hanya karena kamu adalah kamu”.
            Dalam katakutan kaena hukuamn bagi dosa-dosa dan dalam pembebasan serta dalam ucapan syukur atas pengampunan, terkandung cinta Tuhan. Allah mencinta demi diri-Nya sendiri, karena Allah adalah Allah. Cinta-Nya itu, di atas semua pengetahuan dan imaginasi, manusia akan disatukan secara permanen dan secara total dengan Allah. Di dalam-Nya, manusia menemukan yang paling berharga, yang kepadaNya menusia mencinta di atas segalanya. Matefora ‘kekasih’ ini dapat dilihat dalam konteks ‘dunia sebagai kekasih Allah’. Apabila sang kekasih adalah Allah dan yang dicinta adalah dunia (lebih daripada individual) maka aspek individual, dualistik dan aspek-aspek duniawi lainnya dihapuskan. Allah sebagai kekasih tidak mencintai secara individual tetapi secara keseluruhan yaitu seluruh ciptaan. Dan sebaliknya, manusia seharusnya tidak mencintai Allah secara per orang dalam hubungan yang vertikal antara pecinta kepada yang dicinta. Manusia mencintai dunia secara keseluruhan sebagai tubuh Allah. Yang dicinta tidak dapat hanya Allah sendiri, tapi juga dunia yang merupakan ekspresi Allah dan yang Allah cintai. Allah sebagai kekasih adalah seseorang yang mencintai dunia bukan dengan ujung jari, tetapi secara total. Allah sebagai kekasih, mempunyai hasrat untuk bersatu dengan semua yang dicintai.

2.3. Metafora Allah sebagai teman
Hubungan teman tidak seperti hubungan ibu dan kekasih. Bisa dikatakan bahwa hubungan ini adalah hubungan yang sepele atau bahkan tidak dipertimbangkan. C. S. Lewis seperti yang dikutip oleh Sallie mengatakan bahwa manusia dapat hidup dan makan tanpa teman. Sehingga teman sama sekali merupakan hubungan yang tidak penting. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Bonhoeffer yang mengatakan bahwa persahabatan lahir dalam kemerdekaan. Persahabatan merupakan harta yang paling jarang dan paling tidak bernilai. Kualitas lain yang penting dalam hubungan ini adalah kebebasan. Persahabatan merupakan ikatan dua orang dengan suara yang bebas dalam suatu hubungan yang timbal balik. Walaupun diakui ada persahabatan yang hanya dari satu pihak, tetapi dalam hal ini hubungan timbal baliklah yang disoroti. Secara mendasar, seseorang memilih untuk berteman dengan orang lain, karena orang tersebut suka dengan dia dan mau menjadi teman baginya. Seperti  yang ditulis oleh Kant, persahabatan dibentuk oleh kasih sayang dan respek persahabatan yang utama yaitu sukacita. Ketertarikan yang bebas dua orang teman yaitu ‘orang yang engkau suka dan orang yang suka padamu’.
            Anak-anak biasanya mengenal teman dengan sendirinya. Bagi mereka, teman adalah seorang yang senang dan mau bermain dengannya serta seseorang yang bisa dipercaya. Dalam hubungan ini, ada rasa ketertarikan, sukacita, kebebasan dan kepercayaan. Persahabatan, bebas dari masalah-masalah pokok yang biasanya ada pada ‘cinta’ seperti rasa takut, cemburu. Aristoteles mengatakan bahwa persahabatan bukan cinta pada yang lain tetapi cinta pada diri sendiri. Kesetiaan adalah karakter utama dalam persahabatan. Perjanjian Yahwe dengan Israel merupakan suatu komitmen menjadi teman. Sedangkan persahabatan Allah dengan manusia pada zaman ini, dapat dilihat pada peristiwa penyelamatan. Persahabatan antara Allah dengan manusia bukan antara dua orang yang saling berhadapan, tetapi dua orang yang sama-sama berhadapan dengan suatu visi. Setiap orang bebas memilih untuk menyatu atau keluar dari sukacita dalam Allah. Persahabatan didasarkan pada kenyataan dan komitmen. Kesalahan yang paling besar dalam persahabatan adalah penghianatan. [7]

2.4. Dunia sebagai Tubuh Allah
Tradisi Kristen memandang bahwa manusia hidup dan bergerak dalam Tuhan. Manusia melihat dirinya dan yang lainnya sebagai tubuh Allah. Kemuliaan dan transendensi Allah terdapat pada langit dan juataan galaksi, bumi dan segala isinya. Sehingga Allah tidak terbatas pada daging. Dalam diri Allah tidak hanya ada kemuliaan tetapi juga ada rasa kasihan, kerena tubuh juga dipenuhi dengan rasa sakit. Apabila Allah terwujud dalam tubuh maka tubuh menjadi sesuatu yang khusus. Konsep dunia sebagai tubuh Allah menggabungkan sisi kemuliaan dan rasa sakit yang dirasakan sebagai manusia. Allah yang adalah Raja dari Kerajaan yang jauh, bukanlah berarti trasenden. Allah yang adalah Raja, suatu waktu masuk ke dunia dalam wujud manusia, inipun bukan berarti imanen. Metafora dunia sebagai tubuh Allah merupakan suatu cara mengungkapkan transendensi dan imanensi Allah. Dalam konsep ini, ada undangan untuk melihat Pencipta dalam ciptaan. Segala sesuatu bisa dipakai menjadi gambaran Allah, karena tidak satupun adalah Allah. Tubuh Allah bukanlah tubuh manusia atau tubuh lainnya. Tetapi seluruh tubuh adalah refleksi Allah.
Dalam konsep ini, tidak berarti bahwa ciptaan diidentikkan dengan Allah, tetapi dunia sebagai tempat dimana Allah hadir pada manusia. Keprecayaan tradisional dalam Chalcedon mengatakan bahwa Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati. Alkitab mengatakan bahwa Allah terbatas pada tubuh manusia. Pada satu sisi, metafora ini merenungkan kemuliaan ciptaan Allah. Di sisi lain, konsep ini mengandung rasa kasihan dan pelayanan melalui penderitaan yang ada di muka bumi. Dalam metafora ini, manusia tidak berarti telah melihat Allah secara tatap muka. Pertemuan dengan Allah hanya dapat dilakukan dengan memberi perhatian, mendengar, belajar untuk mencintai dan memperhatikan. Metafora ini tidak menetang transendensi Allah. Pemahaman Kristiani selama ini, dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles yang menyatakan jauhnya Allah dari dunia ini. Pemahaman itu sendiri bukan berasal dari akar kekeristenan. Dalam pemahaman Kristen-Yahudi, ketinggian Allah itu berada dekat yaitu dalam hubungan perjanjian-Nya dengan umat yang terpilih. [8]

III.  Kesimpulan
Ketika berdoa, setiap orang mengalamatkan doanya pada Tuhan, bukan menggambarkan tentang Tuhan. Oleh sebab itu, ketika dalam doa ditambahakan kata-kata benda seperti “Bapa”, semata-mata adalah untuk mengalamatkan doa itu pada Tuhan, bukan mendefenisikan diri Tuhan sebagai bapa (maskulin). Panggilan ataupun metafora itu, berdasarkan pada pengalaman spiritual setiap orang. Apabila dengan metafora itu, seseorang mampu lebih mengharmoniskan hubungannya dengan Tuhan, maka tidaklah salah kalau metafora itu digunakan. Tapi metafora-metafora itupun bukanlah sesuatu yang mutlak. Setiap orang bebas dalam memakai atau tidak menggunakan metafora-metafora tersebut, karena metafora ini juga adalah bagian dari bentuk pendekatan  setiap orang untuk mengenal Allah. Pandangan ini jelas memperlihatkan bahwa Allah itu tidak dapat kita defenisikan dan dihubungkan dengan jenis kelamin. Dengan mendefinisikan Allah dengan jenis kelamin berarti kita juga mencoba membatasi Allah yang tidak terbatas itu.

IV. Saran
1.      Supaya perempuan dan laki-laki mendapat penghargaan yang sama.
2.      Gereja dan orang percaya menegakkan keadilan dan kebebasan yang sama antara laki-laki dan perempuan.


Kepustakaan

McFague, Sallie                      Models Of God,  Philadelphia: Fortress Press
1998
McFague, Sallie                      The Body of God, Philadelphia: Fortress Press
1993   
Hommes, Anne                       Perubahan Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja
1992                                        dan Masyarakat, Jakarta: BPK-Gunung Mulia



[1] Sallie McFague, Models Of God, (Philadelphia: Fortress Press, 1998) hlm 98
[2] Bnd. Anne Hommes, Perubahan Peranan Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1992) hlm 50-63
[3] Sallie McFague, Op. Cit. hlm 98
[4] Ibid,  hlm 101
[5] Anne Hommes, Op. Cit. hlm55
[6] Sallie McFague, Op. Cit. hlm 125,130
[7] Ibid,  hlm 157,159
[8] Sallie McFague, The Body of God. (Philadelphia: Fortress Press, 1933) hlm 131-136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar